SD-SMP Swasta Gratis, Legislator Ingatkan Kualitas Pendidikan Tak Boleh Turun

1 day ago 6

Jakarta -

Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayanti menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan agar wajib sekolah 9 tahun, yakni SD-SMP, digratiskan baik sekolah negeri ataupun swasta. Esti mengatakan keputusan itu sebagai langkah dalam memperkuat hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dasar.

"Putusan ini sangat baik, kami tentunya mendukung karena ini adalah bentuk pemenuhan hak dasar warga negara untuk mendapatkan pendidikan," kata MY Esti Wijayanti, Rabu (28/5/2025).

Esti mengatakan UUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk hadir membantu masyarakat. Khususnya, kata dia, bagi masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan layak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Negara memang berkewajiban hadir, terutama bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu yang terpaksa mengakses pendidikan swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Keputusan MK tersebut menjadi harapan bagi seluruh masyarakat untuk bisa mendapat akses pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk semua," ujarnya.

Esti juga setuju dengan pertimbangan MK. Menurutnya, saat ini banyak anak-anak dari keluarga kurang mampu mengalami kesulitan membayar saat menempuh pendidikan.

"Ini salah satu persoalan di dunia pendidikan kita. Saat anak-anak dari keluarga mampu tidak bisa tertampung di sekolah negeri dengan berbagai alasan, mereka mau tidak mau bersekolah di swasta," jelasnya.

"Dan tak sedikit yang tertatih-tatih. Mereka tidak bisa bayar SPP, akhirnya tidak bisa ikut ujian, atau bahkan tidak bisa mengambil ijazahnya karena belum lunas biaya pendidikan di sekolah. Tidak sedikit juga yang akhirnya putus sekolah. Maka pendidikan gratis memang harus juga berlaku di sekolah swasta," sambung Esti.

Meski begitu, Esti menilai pelaksanaan kebijakan ini memerlukan pendekatan yang lebih kontekstual. Sebab, kata dia, tak semua sekolah swasta dapat diperlakukan sama.

"Kita harus objektif. Ada sekolah swasta yang memang memiliki segmen pasar khusus dan menjalankan misi pendidikan yang lebih kompleks, termasuk dengan tenaga pengajar yang lebih mahal dan fasilitas yang menunjang mutu tinggi," paparnya.

Menurutnya, perlu ada pemahaman dan kebebasan untuk sekolah swasta mandiri. Sebab itu, pasti terdapat sekolah yang tidak bersedia lantaran dinilai mampu menghadirkan harapan sekolah berkualitas.

Esti menekankan pentingnya klasifikasi terhadap sekolah swasta dalam implementasi keputusan MK. Dia pun meminta pemerintah untuk fokus mendukung sekolah swasta yang berkontribusi membuka akses pendidikan dasar di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta di kawasan perkotaan padat yang kekurangan sekolah negeri.

"Yang perlu dihitung adalah berapa anggaran yang dibutuhkan. Termasuk sekolah-sekolah swasta yang perlu diperhitungkan anggaran untuk operasionalnya seperti gaji guru, tenaga kependidikan, fasilitas, dan sebagainya. Khususnya sekolah swasta yang menampung banyak masyarakat kurang mampu, sekolah swasta di daerah 3T, dan lain-lain," imbuhnya.

Lebih lanjut, Esti mengatakan rancangan anggaran yang matang perlu menjadi perhatian agar kebijakan baru tetap mengutamakan kualitas pendidikan. Dia meminta pemerintah meninjau ulang struktur alokasi anggaran pendidikan yang dialokasikan 20 persen dari APBN.

Menurutnya, diperlukan perencanaan dan kalkulasi yang matang mengenai anggaran dengan adanya putusan kewajiban sekolah gratis dari SD-SMP. Esti menegaskan Komisi X DPR akan menjalankan fungsi pengawasan secara ketat.

"Kualitas pendidikan tidak boleh turun hanya karena kebijakan tidak disertai dengan perencanaan anggaran dan klasifikasi yang matang. Negara wajib hadir dengan solusi, bukan hanya dengan aturan," imbuhnya.

Sebelumnya, MK memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan itu.

Putusan itu diketok hakim MK pada sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (27/5). MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 itu diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

(amw/eva)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |