Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) mengusulkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) agar mengakomodasi peraturan daerah di Aceh yang mengatur tindak pidana berdasarkan hukum Islam (syariat) atau Qanun. Komisi III DPR RI menyampaikan usulan itu akan dipertimbangkan.
"Tolong dalam RUU KUHAP untuk mengakomodir kekhususan Aceh ini diakomodir bagaimana penyelesaian secara spesifik di dalam RUU KUHAP itu," ujar mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Muhammad Fadli dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadli mengatakan hal itu penting dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Qanun. Adapun Qanun di Aceh selama ini berjalan berdampingan dengan hukum nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan hal itu untuk memberikan kepastian. Ia ingin tak ada tumpang-tindih yang membuat seseorang diadili dua kali.
"Ternyata ini hal yang sangat baru terkait dengan Qanun Aceh. Prinsipnya, ada asas Ne Bis In Idem, bahwa satu masalah yang sama tidak bisa diadili dua kali. Apakah satunya berdasarkan Qanun dengan kekhususan Aceh dan satunya lagi dengan hukum nasional," kata Habiburokhman.
Waketum Gerindra ini mengatakan penyelesaian 18 tindak pidana ringan di Aceh sudah mendahului konsep restorative justice (RJ). Menurutnya aturan yang ada di Aceh bisa disinergikan dengan KUHAP.
"Sebetulnya konsep penyelesaian 18 tindak pidana ringan yang dipraktikkan di Aceh sudah mendahului konsep restorative justice yang baru akan kita implementasikan dalam KUHAP ini. Jadi ini tinggal disinergikan," ujar Habiburokhman.
"Restorative justice ini bukan nilai dari luar. Kita bangsa Indonesia sebenarnya sudah mempraktikkannya sejak lama. Masalah yang tidak berakibat fatal biasanya diselesaikan secara kekeluargaan," sambungnya.
Habiburokhman mencontohkan permasalahan yang bisa diselesaikan melalui restorative justice seperti guru yang mencubit atau menjewer murid untuk ketertiban. Menurutnya, ada perkara yang tak harus sampai ke sistem pengadilan.
"Sekarang aja ada guru cubit murid, jadi pidana. Guru jewer murid, jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar kan, kita jadi tertib. Tadinya enggak hapal doa tertentu, jadi hapal," kata Habiburokhman.
"Nah, nilai-nilai seperti ini yang mau kita eksplorasi lagi dan masukkan ke norma hukum kita, supaya tidak semua perkara harus berakhir di pengadilan," imbuhnya.
(dwr/fca)