Mahkamah Agung (MA) RI merespons Komisi Yudisial (KY) yang memberikan rekomendasi agar majelis hakim yang mengadili perkara korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan dengan terdakwa mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dijatuhi sanksi nonpalu selama enam bulan. MA menyebut rekomendasi itu akan dipertimbangkan.
"Menurut saya, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan rekomendasi tersebut. Sekali lagi, rekomendasi tersebut akan dipertimbangkan, apa nanti pertimbangan Mahkamah Agung, ya akan diputuskan kemudian," kata Ketua MA Sunarto kepada wartawan di gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa (30/12/2025).
Akan tetapi, Sunarto menjelaskan, pada 2012, MA dan KY telah menandatangani Peraturan Bersama Nomor 02 Tahun 2012. Dia mengatakan, dalam peraturan bersama tersebut, tertuang jelas dalam Pasal 15 dan 16 mengenai kedua lembaga yang tidak bisa untuk menilai benar atau salah terhadap pertimbangan putusan hakim dalam suatu perkara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di pasal 15 itu disebutkan bahwa Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial tidak dapat menyatakan benar atau salahnya pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim. Jadi Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial, hakim itu tidak boleh disanksi karena pertimbangannya, itu dilindungi oleh konvensi internasional," jelas Sunarto.
Selain itu, dia mengatakan independensi kekuasaan kehakiman dalam konvensi PBB disebut dengan kemandirian. Dia menilai tidak boleh ada pihak yang menyalahkan pertimbangan hakim, karena ada berbagai upaya hukum untuk menanggapi pertimbangan hakim.
"Tingkat pertama ke tingkat banding, dari tingkat banding kasasi. Bahkan ada upaya hukum luar biasa lagi, yaitu peninjauan kembali, itu yang pasal 15-nya," terang Sunarto.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika KY akan memeriksa hakim atas dugaan pelanggaran yang bersifat teknis yudisial, harus bekerja sama dengan MA dengan melakukan pemeriksaan bersama. Sebab, kata dia, kekeliruan hakim yang terkait dengan teknis yudisial, itu tidak bisa diubah oleh hakim itu sendiri, walaupun hakimnya dijatuhi disanksi.
"Hakim itu tidak bisa mengubah putusan yang telah diucapkan dan telah ditandatanganinya. Siapa yang harus mengubah putusan? Adalah pengadilan yang lebih tinggi, sehingga semua putusan hakim itu ada asas, prinsip. Di dunia internasional, di negara mana pun, itu apa yang disebut dengan res judicata pro veritate habetur, putusan hakim harus selalu dianggap benar sampai dibatalkan oleh putusan hakim lain yang lebih tinggi," pungkasnya.
KY Rekomendasi Sanksi
Seperti diketahui, rekomendasi itu sebagaimana hasil pemeriksaan KY atas laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dilayangkan Tom Lembong. Rekomendasi dimaksud tertuang dalam Putusan Nomor 0098/L/KY/VIlI/2025.
"Benar, surat rekomendasinya sudah dikirimkan ke MA (Mahkamah Agung)," kata anggota sekaligus juru bicara KY Anita Kadir dilansir Antara, Sabtu (27/12).
Dalam putusan tersebut, KY menyatakan bahwa tiga hakim terlapor, yakni DAF, PSA, dan AS, terbukti melanggar KEPPH.
"Yaitu Angka 1 butir 1.1. (5) dan 1.1. (7), Angka 4, Angka 8, dan yaitu Angka 10 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Rl dan Ketua Komisi Yudisial Rl Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang KEPPH juncto Pasal 5 ayat (3) huruf b dan huruf c, Pasal 8, Pasal 12 dan Pasal 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH," demikian petikan amar putusan.
Oleh sebab itu, KY memberikan usul sanksi sedang kepada para terlapor berupa hakim non-palu selama enam bulan.
Putusan tersebut diambil dalam sidang pleno KY pada Senin, 8 Desember 2025, yang dihadiri lima komisioner KY periode sebelumnya, yakni Amzulian Rifai selaku ketua merangkap anggota, serta Siti Nurdjanah, Mukti Fajar Nur Dewata, M Taufiq H Z, dan Sukma Violetta masing-masing sebagai anggota.
Diketahui, pada Agustus lalu, KY menerima laporan dugaan pelanggaran KEPPH yang dilayangkan oleh Tom Lembong dan kuasa hukumya. Tom melaporkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana empat tahun dan enam bulan penjara kepada dirinya.
Majelis hakim dimaksud menyatakan Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada 2015-2016.
Namun, menteri perdagangan periode 2015-2016 itu kemudian mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto sehingga peristiwa pidana yang sempat didakwakan kepadanya ditiadakan. Tom lantas bebas dari Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, pada 1 Agustus 2025.
(kuf/jbr)


















































