Konten Etnografi dan Blended Learning: Pendekatan Komprehensif Mengatasi Intoleransi di Kampus

4 hours ago 3

loading...

Presiden Universitas Darunnajah Jakarta Assoc. Prof. Dr. KH. Sofwan Manaf, M.Si. Foto/Universitas Darunnajah.

Assoc. Prof. Dr. KH. Sofwan Manaf, M.Si, (Presiden Universitas Darunnajah Jakarta), dan Dr. Fatmawati, M.Ag, (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Perguruan Tinggi di Indonesia menghadapi tantangan dalam mengatasi gejala intoleransi yang dapat muncul dalam berbagai bentuk diskriminasi berdasarkan suku, agama, atau latar belakang budaya dan polarisasi kelompok mahasiswa, serta kurangnya pemahaman antarbudaya. Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai mikrokosmos masyarakat multikultural idealnya menjadi ruang dialog inklusif yang mempromosikan pemahaman antarbudaya. Namun, realitas menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi tantangan signifikan di banyak perguruan tinggi Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pendekatan konvensional dalam pendidikan karakter mungkin belum cukup efektif menjawab kompleksitas permasalahan kontemporer.

Di sisi lain, transformasi digital dalam pendidikan, yang dipercepat oleh pandemi, telah membuka peluang untuk mengintegrasikan modal blended learning dengan konten kultural yang kaya. Sayangnya, potensi sinergi antara konten etnografi (ethno-content) dan blended learning sebagai strategi sistematis untuk memerangi intoleransi masih belum dioptimalkan dan diteliti secara komprehensif.

Penelitian sebelumnya telah mengonfirmasi manfaat pedagogis dari blended learning dalam meningkatkan akses dan fleksibilitas pendidikan (Smith & Anderson, 2021). Secara paralel, studi mengenai konten etnografi menegaskan perannya dalam memperkaya perspektif kultural mahasiswa (Garcia, 2020). Namun, tinjauan literatur mengungkap bahwa integrasi kedua domain ini masih bersifat superfisial.

Sebagian besar penelitian terdahulu bersifat teoritis dan kurang didukung oleh bukti empiris yang kuat untuk mengukur dampak langsungnya terhadap sikap toleransi. Selain itu, tantangan implementasi di tingkat teknis, pedagogis, dan institusional belum dipetakan secara mendetail. Literatur yang ada juga cenderung general dan tidak mempertimbangkan variasi konteks budaya lokal yang spesifik, yang sangat krusial bagi negara seberagam Indonesia.

Lebih lanjut, evaluasi yang dilakukan kebanyakan bersifat jangka pendek, sehingga dampak berkelanjutan dari pendekatan ini terhadap perilaku mahasiswa masih menjadi pertanyaan terbuka.

Studi ini menjawab kesenjangan tersebut dengan mengusung pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan konten etno secara mendalam ke dalam kerangka blended learning. Kebaruan penelitian ini terletak pada upayanya untuk: (1) menyediakan bukti empiris kuantitatif dan kualitatif mengenai dampak integrasi ini terhadap sikap toleransi; (2) mengidentifikasi dan memetakan tantangan implementasi secara holistik dari perspektif pengajar dan institusi; (3) mengembangkan model yang kontekstual dengan menyesuaikan konten etnografi dengan lokalitas budaya tertentu; serta (4) merancang desain penelitian longitudinal untuk mengukur efektivitas jangka panjang.

Kontribusi ilmiahnya adalah memperkaya literatur di persimpangan pendidikan multikultural, teknologi pendidikan, dan psikologi sosial, sekaligus menawarkan framework yang dapat diadaptasi oleh perguruan tinggi untuk membangun lingkungan kampus yang lebih inklusif.

Integrasi Konten Etnografi dalam Blended Learning pada Sikap Toleransi Mahasiswa

Blended learning telah berevolusi dari sekadar moda pembelajaran alternatif menjadi paradigma pendidikan tinggi yang utama, terutama pasca-akselerasi digital selama pandemi (Smith & Anderson, 2021). Model ini secara intrinsik menawarkan fleksibilitas temporal dan spasial, memungkinkan mahasiswa untuk terlibat dengan materi secara lebih mandiri dan mendalam. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada desain pedagogis dan kualitas konten yang diintegrasikan.

Penelitian oleh Halverson et al. (2017) menekankan bahwa keberhasilan blended learning tidak terletak pada aspek teknologis semata, melainkan pada kemampuannya dalam menciptakan "ruang belajar hibrid" yang memadukan keunggulan interaksi sinkron dengan kedalaman engagement asinkron. Ruang inilah yang potensial untuk diisi dengan konten-konten bermuatan nilai, termasuk konten budaya, yang dapat dikurasi dan didiskusikan secara lebih reflektif.

Di sisi lain, konten etnografi yang merujuk pada materi pembelajaran yang mengintegrasikan kearifan lokal, narasi budaya, dan perspektif indigenous telah diakui sebagai instrumen strategis dalam pendidikan multikultural (Garcia, 2020). Kehadirannya dalam kurikulum berfungsi sebagai counter-narrative terhadap wacana budaya yang dominan, sekaligus memvalidasi identitas kultural mahasiswa dari latar belakang minoritas.

Menurut Banks (2016), integrasi konten budaya yang transformatif tidak hanya menambah keragaman perspektif, tetapi juga merekonstruksi cara pandang mahasiswa terhadap realitas sosial yang plural. Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk, konten etnografi menjadi relevan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kebhinekaan bukanlah sebuah masalah, melainkan sebuah realitas sosiologis yang harus dikelola dengan bijak.

Meskipun kedua bidang blended learning dan konten etnografi memiliki potensi yang signifikan secara independen, integrasi di antara keduanya masih belum dieksplorasi secara sistematis. Literatur tentang blended learning cenderung berfokus pada aspek efisiensi dan aksesibilitas teknologi, sementara studi tentang konten etnografi seringkali terbatas pada ruang kelas tatap muka konvensional. Sintesis literatur mengungkap setidaknya tiga kesenjangan kritis.

Pertama, terdapat kelangkaan bukti empiris yang secara kausal mengukur dampak integrasi ini terhadap konstruk sikap seperti toleransi. Sebagian besar studi masih bersifat anekdotal atau deskriptif, tanpa desain eksperimen atau kuasi-eksperimen yang ketat (Miller, 2022).

Kedua, tantangan implementasi di tingkat mikro (pedagogi dosen) dan makro (kebijakan institusi) belum terpetakan. Pertanyaan tentang bagaimana dosen merancang aktivitas blended learning yang secara autentik mengakomodasi konten etnografi, atau bagaimana universitas mendukung hal ini secara kelembagaan, masih membutuhkan jawaban yang empiris.

Ketiga, aspek kontekstual sering diabaikan. Konten etnografi yang efektif di satu daerah mungkin tidak relevan di daerah lain. Oleh karena itu, diperlukan model yang adaptif, bukan pendekatan "satu untuk semua". Selain itu, sebagian besar evaluasi dilakukan dalam jangka pendek, sehingga dampak keberlanjutan dari pendekatan ini terhadap pembentukan sikap toleransi mahasiswa masih menjadi area yang gelap dalam peta penelitian.

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |