Jakarta -
Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira, menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang menyatakan tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998. Andreas mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah) yang terekam di Tanah Air.
"Polemik soal penulisan sejarah yang faktual dan objektif penting untuk menjadi pelajaran bangsa ini untuk belajar dari sejarah. Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno," kata Andreas kepada wartawan, Senin (16/6/2025).
Andreas mengatakan setiap sejarah yang terekam harus dilakukan secara objektif. Ia menyebut peristiwa sejarah tak boleh dimanipulasi atau ditutup-tutupi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Forgive but not forget, kata Nelson Mandela. Kalimat-kalimat yang dikemukakan tokoh-tokoh dunia tersebut tentang peristiwa masa lalu, pahit sekalipun menunjukkan bahwa pentingnya penulisan sejarah yang benar dan objektif untuk menjadi pelajaran bagi bangsa," ujar Andreas.
"Memanipulasi, menutup-nutupi peristiwa sejarah hari ini sama saja dengan membohongi diri, membohongi bangsa," tambahnya.
Andreas menilai peristiwa tersebut terekam oleh media massa dan saksi sejarah. Andreas mengingatkan fakta sejarah jangan ditutupi yang akhirnya menimbulkan kecurigaan.
"Karena tokoh peristiwa-peristiwa tersebut terekam oleh berbagai media dan saksi sejarah. Tidak ada manfaatnya kalau buku sejarah ditulis untuk membangun persatuan tetapi menutupi fakta sejarah yang penting. Karena justru ini akan menimbulkan kecurigaan dan luka yang tidak terobati dan akan membusuk dalam perjalanan waktu," ungkapnya
Diketahui, sejumlah aktivis perempuan mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998. Mereka menuntut Fadli Zon meminta maaf.
Kritik itu salah satunya disampaikan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.
Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden RI ke-3 BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
Komnas Perempuan menyebut penyintas tragedi ini telah lama memikul beban. Oleh karena itu, pernyataan Fadli Zon itu dinilai menyakitkan dan memperpanjang impunitas.
"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih kepada wartawan, Minggu (15/6).
Komisioner Yuni Asriyanti menambahkan penegasan ini. Dia menyampaikan pengakuan atas kebenaran merupakan fondasi penting bagi proses pemulihan yang adil dan bermartabat.
"Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat, sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia," ujarnya.
Komnas Perempuan juga meminta semua pejabat menghormati kerja-kerja dokumentasi resmi. Semata-mata untuk mendukung pemulihan korban.
"Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat," imbuh Wakil Ketua transisi Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak.
Simak juga Video Amnesty: Pernyataan Menbud soal Pemerkosaan 1998 Itu Keliru yang Fatal!
(dwr/rfs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini