Desakan dari Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA) agar polisi melakukan gelar perkara khusus soal kasus tuduhan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi) direspons oleh tim pengacara Presiden ke-7 RI itu. Permintaan dari TPUA dinilai sebagai upaya untuk mengkriminalisasi Jokowi.
Permintaan itu disampaikan TPUA saat mendatangi Bareskrim Polri pada Senin 26 Mei 2025 lalu. Dalam momen itu, TPUA menyampaikan keberatan atas hasil gelar perkara dan keputusan penghentian penyelidikan kasus ijazah Jokowi.
"Kita datang ke sini untuk melakukan desakan gelar perkara khusus. Di sana kita tuangkan poin-poin keberatan atas hasil gelar perkara dan hasil penyelidikan yang dihentikan pada tanggal 22 Mei yang lalu," kata Wakil Ketua TPUA, Rizal Fadhillah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rizal menyebut keberatan itu dituangkan pada 26 poin dalam surat yang disampaikannya. Salah satunya, dia menilai penghentian penyelidikan dan gelar perkara yang dilakukan oleh Bareskrim cacat hukum.
Kedua, dia menilai proses penyelidikan dalam perkara itu tidak tuntas atau tidak lengkap. Sebab sejumlah ahli yang dalam bukti yang telah disertakan pihaknya dan dosen pembimbing skripsi Jokowi tak dimintai keterangan oleh penyidik.
Rizal juga menilai pengumuman hasil penyelidikan kasus itu tendensius dan menyesatkan. Sebab penyidik malah menyimpulkan bahwa ijazah itu asli.
"Itu kan menentukan identik, non-identik. Kalau asli, otentik, bukan identik. Oleh karena itu kita sebut ini ada penyesatan. Yang diperiksa identik, non-identik, yang disimpulkan asli. Bahkan di framing keasliannya. Saya kira ini sesuatu yang kita tidak bisa terima," sebut Rizal.
Dorongan Gelar Perkara Khusus
Foto: Perwakilan TPUA di Bareskrim (Ondang/detikcom)
"Bareskrim dengan meraba dan melihat cekungan, kemudian disebut itu handpress dan itu letterpress. Oh nggak bisa, harusnya penelitiannya scientific, uji kertas, uji tinta," urai Rizal.
Dorongan gelar perkara khusus, ujar Rizal, bukan semata-mata karena tidak puas. Namun karena adanya dasar hukum yang jelas.
"Kasusnya itu menjadi perhatian umum, saya kira itu begitu di dalam Perkapolrinya. Bahwa kalau kasus itu menjadi perhatian umum boleh diajukan gelar perkara khusus. Karena kita tidak merasa gelar perkara biasa kemarin itu tidak optimal, dan tidak terbuka, dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada," terangnya.
Bareskrim Simpulkan Tidak Ada Tindak Pidana
Foto: Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro konferensi pers soal tudingan ijazah palsu Jokowi (Rumondang/detikcom)
"Hasil penyelidikan ini telah dilaksanakan gelar perkara untuk memberikan kepastian hukum dengan hasil tak ditemukan adanya tindak pidana," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, dalam jumpa pers, Kamis (22/5/2025).
Djuhandhani menyampaikan penyelidikan tudingan ijazah palsu ini berdasarkan aduan masyarakat oleh TPUA. Aduan tersebut ditandatangani oleh Eggi Sudjana sebagai perwakilan dari TPUA tentang adanya tindak pidana terkait ijazah Jokowi.
Pasal yang diadukan adalah pemalsuan dan/atau pemalsuan akta autentik dan/atau menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik dan/atau membantu memberikan dan menggunakan ijazah sertifikat kompetensi gelar akademik profesi dan vokasi yang tak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 264 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 68 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Polisi kemudian memeriksa 39 orang saksi, yang empat orang di antaranya dari pihak TPUA. Namun Djuhandhani mengatakan Eggi Sudjana sudah dua kali diundang ke Bareskrim tapi tidak hadir.
Karena itu, pihak TPUA diwakili oleh tim yang ditunjuk Eggi Sudjana. Berdasarkan penyelidikan Bareskrim, diungkap juga bahwa TPUA belum terdaftar di Administrasi Hukum Umum (AHU).
Berdasarkan pengaduan masyarakat itu, polisi kemudian bergerak untuk penyelidikan. Dia mengatakan, karena tidak ada unsur pidana, penyelidikan dihentikan.
"Penyelidikan itu gunanya untuk apa? Untuk mengetahui apakah ada perbuatan pidana atau tidak sesuai yang diadukan. Kalau itu sesuai ada tindak pidana dan sebagainya, tentu langkah lebih lanjut adalah membuat laporan polisi, kemudian proses lidik. Namun, dari pengaduan ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan pidana sehingga perkara ini dihentikan penyelidikannya," ujarnya.
Djuhandhani menyampaikan penyelidik telah mendapat dokumen asli ijazah sarjana kehutanan Jokowi. Ijazah asli Jokowi itu kemudian diuji secara laboratoris dengan tiga ijazah rekan Jokowi sebagai pembanding pada saat masa kuliah di Fakultas Kehutanan UGM.
Penguji elemen lain mulai pengaman kertas hingga cap stempel. Dipastikan bukti dan pembandingnya identik.
"Pengaman kertas, teknik cetak, tinta tulisan tangan, cap stempel, dan tinta tanda tangan milik dekan dan rektor dari peneliti tersebut, maka antara bukti dan pembanding adalah identik atau berasal dari satu produk yang sama," tuturnya.
Adapun penyidik mendapatkan dokumen dari SMA 6 Surakarta hingga Fakultas Kehutanan UGM. Dokumen tersebut juga diambil dari alumni SMA dan kampus Jokowi.
"Kita juga mendapatkan 51 dokumen dari pihak Fakultas Kehutanan UGM," kata Djuhandhani.
Penyidik melakukan uji laboratorium forensik dengan dokumen yang sudah diterima dari SMA hingga kampus UGM. Uji laboratorium forensik dilakukan dengan pembanding.
Tanggapan Pihak Jokowi
Jumpa Pers Kuasa Hukum Jokowi (Foto: Taufiq/detikcom)
"Karena masih banyak pihak-pihak yang mencoba membangun narasi seakan-akan, itu belum selesai, masih perlu dibangun lagi, dibuka lagi, gelar khusus dan lain-lain. Kalau mereka mengatakan gelar khusus, gelar khusus seharusnya dimintakan sebelumnya," kata Kuasa Hukum Jokowi, Yakup Hasibuan dalam jumpa pers di kawasan Senayan, Minggu (15/6/2025).
Yakup menerangkan, Bareskrim Polri telah melakukan investigasi penyelidikan komprehensif. Dalam hasil penyelidikannya, Bareskrim menyatakan tidak ada tindak pidana.
"Nah, permasalahannya sekarang mereka mengatakan bahwa kok dihentikan? 'Ini tidak boleh dihentikan di penyelidikan, harusnya dilanjuti ke tingkat penyidikan'. Inilah yang menurut kami adalah upaya-upaya kriminalisasi terhadap Pak Jokowi," jelasnya.
Yakup menekankan, jika suatu perkara sudah dinyatakan tidak mengandung unsur tindak pidana, maka penyidikan tidak bisa dapat dilanjutkan. Dia mengibaratkan hal ini seperti laporan dugaan pencurian yang disampaikan ke polisi, namun setelah dicek, ternyata tidak ada barang yang hilang.
"Kalau analoginya kan ada orang melapor, Pak Polisi ada yang kemalingan nih rumah tetangga saya, silahkan ditindaklanjuti. Polisi melakukan penyelidikan, ditanya yang punya rumah, hilang nggak Pak barangnya? Oh tidak, ya selesai. Penyelidikannya kan nggak mungkin dilanjuti dong ke penyelidikan. Dari awal sudah jelas tidak ada tindak pidana," ungkapnya.
Yakup kemudian merespons soal munculnya narasi-narasi baru seperti tuduhan terhadap skripsi, KKN, dan dosen pembimbing Jokowi. Menurutnya, hal itu merupakan upaya baru yang tidak berdasar.
"Perlu kami sampaikan bahwa pihak Bareskrim sudah menyelidiki sampai ke skripsi dan sampai ke KKN juga, ke pihak kampus juga. Artinya semua hal-hal yang mereka coba dalilkan, coba narasikan, itu sudah diperiksa dan sudah diselesaikan. Sehingga seharusnya tidak ada lagi narasinya mengenai skripsi, mengenai KKN, mengenai dosen pembimbing. Itu semua sudah diverifikasi dan sudah dikonfirmasi oleh pihak Bareskrim ke pihak-pihak yang terkait dan berwenang," sambung dia.
(knv/fas)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini