Jakarta -
Kiki Novita Sari baru pertama kali merantau ketika diterima sebagai guru matematika Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 26 Makassar, Sulawesi Selatan. Tanah rantau yang jauh membuatnya harus beradaptasi dengan budaya baru.
Perempuan berusia 24 tahun ini bahkan punya julukan 'Mbak Jawa' dari para guru dan murid-muridnya dalam proses adaptasinya.
"Ini baru pertama kali merantau dan sejauh ini," kata Kiki dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat mendaftar sebagai guru Sekolah Rakyat, ia masih berada di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Saat ada informasi diterima, barulah dia mengetahui ternyata diminta untuk menjadi guru di Makassar.
Sebelum menjadi guru Sekolah Rakyat, ia sempat bekerja sebagai karyawan swasta. Ia juga pernah mendedikasikan diri sebagai guru matematika tingkat SMP.
"Setelah tes PPPK Pemda, ada jeda menunggu hasilnya, ada informasi lowongan Sekolah Rakyat. Kita enggak tahu rezekinya ada di mana. Kalau Pemda tidak memungkinkan hasilnya, berarti kita ada peluang di Sekolah Rakyat," katanya.
Sebelum tes guru Sekolah Rakyat, pada website pendaftaran muncul nama penempatan kota. Ia memilih untuk melanjutkan proses tes guru, meskipun sempat khawatir karena nanti harus jauh dari keluarga.
"Karena waktu itu terhitungnya di sini masih Kota Makassar. Jadi saya pikir saya adaptasinya tidak terlalu cukup sulit," katanya.
Ia menceritakan sahabat dan keluarganya juga mendukung untuk tetap melanjutkan proses sebagai guru meski penempatannya di Makassar. Mereka juga memberikan masukan Makassar masih kota dan tak jauh beda dengan Semarang karena akses transportasi yang relatif mudah.
"Dikasih support sama teman juga. Oh ya sudah oke saya ambil. Jadi saya lebih mantap ngambil itu. Insyaallah mantap, pilih ke sini," katanya.
Saat dipastikan diterima sebagai guru, ia mencari tahu segala hal tentang Makassar, mulai dari karakteristik orangnya hingga makanan ke beberapa teman dan internet.
"Beda banget ternyata. Jadi yang di Jawa yang lemah lembutnya seperti itu. Sampai di sini kadang orang berbicara biasa pun nadanya tinggi. Jadi kita bisa aja orang Jawa salah tafsir nih seperti itu. Jadi hal yang sepele kayak gitu. Saya coba cari tahu dan tanya sama beberapa teman," katanya.
Tantangan Bahasa
Setiba di SRMA 26 Makassar, Kiki langsung mendapatkan tempat tinggal di asrama. Ia mengaku tak bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan dan rekan guru sejawatnya.
"Saya orangnya agak sensitif, jadi kalau ada orang yang nada tinggi itu biasanya saya habis melakukan sesuatu jadi kadang langsung suka refleksi, tadi sempat ada melakukan hal lain atau tidak?" katanya.
Sambil berusaha beradaptasi, Kiki kerap bertukar cerita dengan rekan sesama guru lainnya. Ia sempat diingatkan ketika ada orang bernada bicara keras menjadi ciri khas orang Makassar.
Persoalan bahasa tak berhenti di situ, Kiki juga mengalami fase menantang saat harus mengajar matematika dengan bahasa yang berbeda dari bahasa ibunya. Ia pun memilih untuk mengamati para siswa dan menyiapkan strategi untuk mengajar.
Saat ritme bicara anak-anak dianggap terlalu cepat, ia meminta para siswa berbicara lebih lambat. Lantaran ada beberapa kata yang diucapkan terlalu cepat sehingga ia tak paham maksudnya.
"Sekarang ini anak-anak tahu, ibu Kiki dari Jawa. Jadi anak-anak sudah tahu oh ini ibunya dari dari Jawa, berbeda. Mereka juga bisa adaptasi, ikut menyesuaikan cara berbicaranya, anak ketika berbicara dengan saya itu, masuknya lebih lembut," katanya.
Strategi Mengajar
"Ih ibu, kenapa ngajarin matematika, saya pikir ibu bukan guru matematika," ujar Kiki menirukan ucapan siswanya saat awal masuk dan berkenalan dengan siswa Sekolah Rakyat.
Sejak saat itu, ia berjanji kepada para siswa untuk membuat mata pelajarannya menjadi seru. Ia mengatakan pada fase matrikulasi, porsi pembelajaran 50 persen dan pendidikan karakter 50 persen.
"Kita buat seru, kita buat games terus," kata Kiki.
Mengawali pembelajaran, ia mengecek lebih dulu kemampuan dasar matematika siswanya. Para siswa diberikan pengenalan materi SD sampai SMP agar menyesuaikan kemampuan siswa yang tak bisa melakukan penjumlahan dan pengurangan.
"Itu kan menyulitkan ketika nanti mereka sudah masuk ke materi SMA," ujar Kiki.
Strategi tadi supaya siswa mau belajar matematika dengan cara yang seru agar bisa mengikuti pelajaran. Walhasil, selama pelajaran matematika tak ada anak yang keluar masuk kelas.
"Mereka tuh lebih suka ditantang, jadi walaupun tantangannya itu remeh-temeh misal penjumlahan bersusun, mereka tuh senang," katanya.
Begitu pun saat para siswa diberi apresiasi kecil, menurutnya, mereka senang dan lebih terpacu untuk belajar. Tak jarang, kini banyak yang meminta maju untuk menjawab soal materinya. Ia juga kerap membuat variasi belajar dengan games matematika.
Kemampuan matematika siswanya secara rata-rata sama. Tak ada yang dominan atau kurang semuanya. Hanya saja memang ada beberapa anak yang butuh perhatian khusus, misalnya, ada seorang anak yang memiliki keterbatasan intelektual. Ia pun harus meluangkan tambahan jam belajar sesuai persetujuan si anak tersebut.
"Jadi berpikirnya lebih lambat daripada usia perkembangannya. Anak itu yang penting, menurut saya, walaupun mereka nggak paham, tapi setidaknya ikut kontribusi aktifnya dulu, happy lah setidaknya di kelas matematika," ujar Kiki.
Ajarkan Kedisiplinan
Kedisiplinan menjadi salah satu hal yang menurut Kiki masih perlu ditanamkan kepada para siswa. Saat awal pembelajaran, para siswa kerap terlambat masuk kelas. Ia menduga karena mungkin mereka belum mengetahui jadwal.
"Jadi para guru harus ikut turun tangan naik ke kamar-kamarnya untuk mengecek. Kita punya data per anak, per kelas, itu kamar berapa kamar berapa, kita cek satu per satu," ujarnya.
Para guru mendisiplinkan para siswa dengan menekankan mereka harus tahu ada kewajiban masuk kelas tepat waktu. Mereka memberikan pemahaman bahwa jika ada yang terlambat, waktu belajar akan terpotong dan teman lainnya terdistraksi.
"Ada perkembangan, cuma mungkin ada beberapa anak masih butuh penanganan khusus," katanya.
Setelah dua bulan dan melewati tahap pengenalan, para siswa sudah memiliki jadwal sekolah dan keseharian.
"Jadi mereka lebih bisa teratur disiplinnya dari situ, ada perubahannya juga," katanya.
Tak hanya bahasa, Kiki juga harus pelan-pelan beradaptasi dengan varian makanan di Makassar. Rasanya cenderung pedas, agak berbeda dengan makanan dari tempat asalnya.
"Ketika kumpul bareng-bareng sama teman, ayo makan bareng, aduh makanannya pedas nih, tapi mau enggak mau kita tetap coba, sedikit demi sedikit, saya coba masuklah ke dunianya mereka. Akhirnya setelah berapa lama mulai bisa," katanya.
(anl/ega)


















































