Eddy Soeparno Ingatkan Pentingnya Transisi Energi untuk Hadapi Krisis

1 day ago 4

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno menegaskan bahwa Indonesia menghadapi titik kritis dalam kebijakan energi nasional. Dia menyoroti bahwa ketergantungan yang tinggi pada energi fosil di tengah ancaman perubahan iklim harus segera diakhiri.

Menurutnya, peningkatan aktivitas industri, pembangunan pabrik, dan pertumbuhan pusat data yang merupakan konsumen energi dalam jumlah besar menuntut strategi penyediaan energi yang berkelanjutan. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon hingga mencapai target dekarbonisasi pada tahun 2060.

Namun saat ini, 61 persen pembangkit listrik nasional masih berbasis batu bara. Sementara target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 tampaknya belum akan tercapai, adapun realisasi bauran EBT hingga tahun ini masih berkisar antara 17 hingga 19 persen. Hal tersebut diungkapkan olehnya saat forum MPR RI Goes to Campus, bertajuk 'Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim' di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Selasa (3/6).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi Indonesia ini negara yang diberkahi. Kita punya cadangan energi fosil yang besar dari minyak dan gas. Meski produksi minyak menurun, gas bumi kita masih cukup melimpah. Batu bara? Kita mungkin punya cadangan terbesar kedua di dunia. Dengan tingkat produksi saat ini, bisa digunakan terus selama 200 tahun ke depan tanpa habis," ujar Eddy dalam keterangannya, Rabu (4/6/2025).

Namun begitu, dia merasa ironi ketika Indonesia justru masih sangat bergantung pada energi impor. Setiap hari, sekitar 1 juta barel minyak mentah harus diimpor dengan nilai sekitar 65 juta dolar AS per hari atau mencapai 23 miliar dolar AS per tahun.

Dia menjelaskan ketergantungan ini juga terlihat dalam kebutuhan LPG di mana 75 persen pasokan LPG 3 kilogram berasal dari luar negeri.

"Ketahanan energi kita saat ini lemah. Ketergantungan pada impor energi membuat kita rentan terhadap gejolak global seperti yang kita alami saat pandemi COVID-19 ketika pasokan terganggu dan harga energi melonjak tajam," jelasnya.

Menurutnya, transisi energi bukan hanya soal keberlanjutan pasokan, melainkan juga bagian dari upaya serius menghadapi krisis iklim. Dia menyoroti kualitas udara Jakarta yang kerap menjadi yang terburuk di dunia. Serta suhu ekstrem yang melanda berbagai wilayah Indonesia, sebagai bukti nyata dari kondisi darurat iklim global.

"Ini bukan lagi climate change, ini climate crisis. Kita melihat dampaknya langsung dari suhu 38 derajat di Nusa Tenggara Timur (NTT), mencairnya salju abadi di Puncak Carstensz, hingga meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di kota-kota besar," ungkapnya.

Eddy pun menyoroti pentingnya keberadaan payung hukum untuk mempercepat transisi energi. Saat ini, DPR RI bersama pemerintah tengah merampungkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) untuk memberikan kepastian regulasi bagi pelaku usaha dan industri.

"Tanpa payung hukum yang kuat, kita tak bisa memberikan insentif bagi yang taat, ataupun menjatuhkan sanksi bagi pelanggar. Kita perlu arah dan mekanisme transisi yang konkret dan bisa diukur," jelasnya.

Eddy Soeparno mendorong kolaborasi dari berbagai pihak dalam mempercepat langkah-langkah konkret seperti penguatan transportasi publik berbasis listrik oleh pemerintah daerah dan pemanfaatan energi surya oleh dunia industri. Termasuk peralihan rumah tangga ke kompor induksi yang lebih efisien dan mengurangi beban subsidi LPG. Di saat yang sama, kebijakan pensiun dini PLTU batu bara serta penerapan pajak karbon dinilai penting untuk mengurangi emisi dan memberikan efek jera terhadap pelaku industri beremisi tinggi.

Dia menyerukan peran aktif seluruh komponen masyarakat, khususnya kalangan akademisi untuk menjadi bagian dari solusi. Dia menegaskan bahwa isu energi bukan sekadar wacana elit, melainkan persoalan sehari-hari yang memengaruhi kualitas hidup seluruh warga negara.

"Setiap kali kita menyalakan lampu atau AC, kita sedang berbicara tentang masa depan energi bangsa. Kampus memiliki peran strategis dalam menyumbangkan data, ilmu pengetahuan, dan inovasi untuk membangun masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ini adalah panggilan untuk bertindak," ungkapnya.

Sementara itu, Rektor Universitas Trisakti Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA menyampaikan hal senada, ia juga mengingatkan kembali peristiwa tahun 2007 ketika mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, menerima Hadiah Nobel Perdamaian berkat kampanyenya mengenai bahaya global warming dan climate change.

"Waktu itu banyak orang belum menyadari urgensinya. Namun kini, dampaknya sangat nyata-banjir terjadi di mana-mana, bukan hanya di negara berkembang, tapi juga di negara-negara maju," ungkap Prof. Kadarsah.

Prof. Kadarsah menyampaikan apresiasi atas kehadiran Eddy Soeparno dan menyebut kunjungan ini sebagai momen penting bagi sivitas akademika Trisakti untuk memahami lanskap energi masa depan.

"Beliau adalah sosok yang sangat berpengalaman dalam bidang energi konvensional maupun terbarukan. Mari kita manfaatkan ilmu beliau sebaik-baiknya," tutupnya.

Simak juga Video: Seputar Kolaborasi Riset Transisi Energi Indonesia-Australia

(prf/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |