Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Bawaslu dapat memutuskan pelanggaran administrasi pilkada. MK menyatakan hasil pengawasan Bawaslu terhadap pelanggaran administrasi dalam pilkada tidak hanya berupa rekomendasi.
Hal itu disampaikan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025). Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan pemohon.
"Menyatakan kata 'rekomendasi' pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'putusan'," kata Suhartoyo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyatakan frasa 'memeriksa dan memutus' dan kata 'rekomendasi' pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai frasa 'memeriksa dan memutus' menjadi 'menindaklanjuti' dan kata 'rekomendasi' menjadi 'putusan'," sambungnya.
Dalam perkara ini, para pemohon menilai adanya perbedaan dalam penanganan pelanggaran administrasi pemilu dan pilkada. Dalam UU Pemilu, proses penyelesaian administrasi pemilu diselesaikan dengan proses ajudikasi oleh Bawaslu dengan hasil akhir berupa putusan dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU.
Sedangkan, dalam UU Pilkada, proses penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada diselesaikan dengan tahapan kajian, dengan hasil akhir berupa rekomendasi. Kemudian rekomendasi itu akan diperiksa dan diputus oleh KPU.
Dalam pertimbangannya, Ridwan Mansyur menilai seharusnya tak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada. Ridwan mengatakan semua ketentuan yang berkaitan dengan upaya mewujudkan pemilu berintegritas harus dibuat secara seragam.
Ridwan mengatakan perbedaan penanganan pelanggaran administrasi pemilu dan pilkada oleh Bawaslu menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan antara Bawaslu dan KPU. Padahal, desain hukum pemilu, KPU dan Bawaslu secara struktur kelembagaan adalah sama-sama sebagai penyelenggara pemilu.
MK menilai penanganan pelanggaran administrasi pilkada yang dilakukan Bawaslu hanya bersifat formalitas, jika hasil akhir bukan merupakan putusan, melainkan hanya rekomendasi. Sebab, muara proses hukum yang dilakukan Bawaslu menjadi tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Dalam hal ini, oleh karena penanganan sengketa administratif dalam penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden oleh Bawaslu memiliki kekuatan mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti, dengan telah diposisikan sama untuk semua rezim pemilihan, maka pelanggaran administrasi pilkada yang ditangani Bawaslu pun harus memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama, dan KPU wajib menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu sehingga tidak perlu dikaji ulang oleh KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota atau sebutan lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut, MK pun mengingatkan DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU untuk menyelaraskan semua dasar pengaturan pemilu. MK juga meminta DPR dan pemerintah untuk segera merevisi UU Pemilu dan Pilkada.
"Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera merevisi atau melakukan perubahan undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, termasuk juga pengaturan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu," tuturnya.
"Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," imbuh dia.
(amw/fca)