KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi terkait izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), yang merugikan negara Rp 2,7 triliun. Penerbitan SP3 itu dilakukan KPK sejak tahun 2024.
"Benar (SP3 sejak 2024)," kata Budi kepada wartawan, Minggu (28/12/2025).
Budi menilai penerbitan SP3 kasus izin tambang di Konawe Utara telah tepat. Karena, ada kendala dalam perhitungan kerugian negara dalam kasus ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2 Pasal 3-nya (UU Tipikor), yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," sebutnya.
Ada juga faktor waktu yang membuat kasus ini dihentikan. Kasus ini jadi kedaluarsa untuk pasal suap karena waktunya pada 2009.
"Kemudian dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya," imbuhnya.
Budi menyatakan SP3 tersebut memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait. Sebab, proses hukum dinilai dilakukan dengan koridor yang tepat.
"Artinya, pemberian SP3 ini untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait. Karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma-norma hukum," tutur dia.
"Hal ini juga sesuai dengan azas-azas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tambahnya.
Kasus Konawe Utara
Pada 2017, KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait izin pertambangan. Dia diduga memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.
"Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka," ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).
Saut menyebut dugaan korupsi itu terkait izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di Konawe Utara. Tindak pidana yang disangkakan pada Aswad diduga berlangsung pada 2007-2009.
"Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum," kata Saut saat itu.
(ial/rfs)

















































