Jakarta -
Oktavianti Riska Fitriasari gadis berkacamata berusia 17 tahun atau yang akrab disapa Okta, menyimpan kisah perjuangan seorang yatim piatu penghafal Al-Qur'an. Mempunyai akhlak yang baik, sikap ramah dan ceria menjadi ciri khas kepribadiannya.
Okta ikut menjadi penopang keluarganya setelah Ibunya meninggal saat ia masih duduk di kelas dua SMP. Tak lama kemudian, ayahnya menyusul. Ia tinggal bersama neneknya yang sudah renta, pamannya, sekaligus merawat dua adiknya yang masih kecil.
Hari-harinya penuh keterbatasan. Penghasilan neneknya sebagai pemulung tidak menentu, bahkan sering kali tidak ada. Sedangkan Pamannya yang bekerja sebagai 'polisi cepek' penghasilannya jauh dari kata cukup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu membuat mereka hanya bisa makan sekali sehari, sehingga kondisi tersebut membuat Okta tidak ingin berpangku tangan. Sejak SMP, ia bekerja serabutan seperti berjualan makanan, menjaga toko baju, hingga menjual jus buah.
"Kayak beban (bagi mereka) gitu lho. (Makanya) Ingin berusaha bantu (kerja) nenek dan Pakde," kata Okta, dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/9/2025)
Hal ini disampaikan di ruang konseling SRMA 22 Kota Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2024 saat rumahnya di Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang ludes terbakar akibat ledakan gas elpiji. Saat kejadian, Okta tengah berada di pesantren Darul Muhlisin, Sawojajar.
"Habis mama enggak ada (meninggal). Terus kebakaran itu," kenang Okta.
Sejak saat itu, keluarga kecil ini tinggal di rumah kontrakan sembari berusaha memperbaiki rumah ala kadarnya.
Di tengah semua keterbatasan, Okta tetap setia menghafal Al-Qur'an. Hingga kini ia telah menghafalkan enam juz. Ia melafalkan saat rindu orang tuanya datang atau setelah sholat, untuk menenangkan hati.
"Kalau habis magrib ngaji (Al-Qur'an) itu dihafalkan," jelasnya.
Titik terang hadir ketika Okta diterima di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22 Kota Malang.
"Dulu makan satu atau dua kali sehari. Sekarang tiga kali sehari. Di sini juga kalau habis magrib bisa (rutin) ngaji dan menghafalkan Al-Qur'an. Meskipun tidak setoran tapi tetap menghafal," ujarnya.
Di Sekolah Rakyat, Okta kembali menemukan semangat untuk meraih mimpi menjadi guru agama, meski hidupnya penuh ujian. Ia aktif mengikuti berbagai kegiatan, disiplin dalam belajar, dan menemukan teman baru yang menunjukkan tekad yang kuat.
"Di pesantren, para guru mengajarkan kitab-kitab kepada santrinya. Dari situlah muncul keinginan kuat untuk menjadi guru ngaji," kata Okta .
Lebih dari itu, Okta juga ingin melihat neneknya tersenyum lega, terbebas dari beban hidup.
"Harapan saya bisa sukses, biar nenek enggak susah lagi, biar bisa rawat adik-adik," ucapnya.
Okta, seorang anak dari keluarga miskin, tidak menyerah pada cobaan hidupnya. Setelah kehilangan orang tua, rumahnya terbakar, hingga harus bekerja sejak kecil, ia tetap bersemangat. Di Sekolah Rakyat, Okta menemukan harapan baru untuk meraih mimpinya.
Okta tidak sendiri, bersama 75 siswa lainnya di SRMA 22 Malang, mendapatkan kesempatan kesempatan untuk meraih cita-cita dan memutus rantai kemiskinan. Sekolah ini didukung oleh 17 guru dan 3 tenaga pendidikan, serta dilengkapi berbagai fasilitas seperti sarana olahraga, laboratorium, dan perpustakaan.
Sekolah Rakyat bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah yang memberi kesempatan anak-anak untuk bermimpi. Bersama Okta dan ribuan anak lain, harapan itu kini bertumbuh melalui keyakinan bahwa pendidikan berkualitas mampu mengalahkan kemiskinan.
Sebagai Informasi program Sekolah Rakyat yang diinisiasi Presiden Prabowo menargetkan berdiri di 165 titik pada 2025, dengan kapasitas 15.895 siswa dari keluarga miskin. Sebuah usaha agar anak-anak seperti Okta tidak lagi terhenti di tengah jalan hanya karena keterbatasan ekonomi.
(anl/ega)