Kisah Jaksa di Rote Ndao, Rela Terjang Ombak demi Tegakkan Keadilan

2 hours ago 2

Jakarta -

Jaksa merupakan sebuah pekerjaan yang mulia dan penuh dengan tantangan. Di samping itu, seorang jaksa juga harus mengabdi dengan lokasi penempatannya, khususnya jika ditempatkan di wilayah terpencil di Indonesia.

Hal ini dialami oleh Kepala Subseksi Prapenuntutan pada Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Rote Ndao Boby Bintang Hasiholan Sigalingging. Lahir dan besar di Medan, Sumatera Utara, Boby merupakan bungsu dari 5 bersaudara.

Sejak kecil, Boby bercita-cita ingin menjadi jaksa. Namun, impiannya sempat ditentang sang ayah yang merupakan seorang polisi lantaran ia merupakan anak laki-laki satu-satunya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kuliah saya mengambil Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Karena memang pada dasarnya yang menjadi cita-cita saya dari kecil, itu menjadi seorang jaksa memang," ujar Boby, dikutip dari 20detik, Minggu (14/9/2025).

"Dan memang ini mendapat pertentangan dari bapak sendiri, karena kebetulan saya anak laki-laki satu-satunya, paling kecil juga dari 5 bersaudara, jadi keinginan seorang ayah ya," sambungnya.

Lulus jadi jaksa, Boby sempat ditugaskan di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Tidak pernah memiliki pengalaman merantau, membuat Boby sempat mengalami stres ringan saat bertugas di sana.

"Medan yang semua yang serba ada, Medan yang begitu kotanya, kemudian saya harus ditempatkan di Kabupaten Talaud. Yang apa-apa nggak ada, semua serba terbatas," jelas Boby.

"Makanan mahal semua, semua mahal gitu, kan. Kemudian jam 8 malam saja sudah tutup pintu semua di sana," lanjutnya.

Singkat cerita, Boby dipindahkan ke Rote Ndao, NTT pada Januari 2025. Boby mengaku bersyukur lantaran ada beberapa faktor yang menyertainya.

Menurut Boby, secara infrastruktur dan fasilitas, Rote Ndao lebih baik dibandingkan Talaud. Salah satunya yaitu akses menuju ibu kota provinsi melalui jalur laut.

"Kalau tempat saya dulu, Manado-Talaud via laut itu 15 jam. Itu kalau tidak berombak," kata Boby.

"Kalau berombak 18 jam dari Manado ke Talaud. Dibandingkan dengan Kupang-Rote, kalau tidak berombak kan 2 jam. Jadi ada spare waktu 13 jam lah perbedaannya," lanjutnya.

Meski demikian, penugasan Boby di Rote Ndao membawa cerita tersendiri. Wilayah yang berbatasan langsung dengan laut ini menghadirkan tantangan besar, terutama saat harus menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) di Kupang.

"Tantangannya bukan cuma daratan, tapi juga lautan. Kalau ada perkara korupsi, sidangnya harus di Pengadilan Tipikor di Kupang," ungkap Boby.

"Dan satu-satunya di provinsi ya cuma di ibu kota," sambungnya.

Transportasi menjadi kendala utama. Ketika jadwal sidang sudah ditetapkan, kondisi cuaca kadang tak bersahabat.

Apalagi, Boby harus menghadapi ombak tinggi di Selat Puku Afu. Selat ini merupakan salah satu yang paling ekstrem di NTT dan kerap menghambat perjalanan laut.

"Jadi pas kadang kapal H-1 satu, saya tanya orang pelabuhan, 'oh aman, besok jalan'. Angin malam ini aman," kata Boby.

"Ternyata besok pagi ya cuaca berbeda lagi. Tidak bisa jalan, tidak mau ambil risiko," lanjutnya.

Boby menambahkan, nahkoda atau kapten kapal tidak mau mengambil risiko karena terlalu berbahaya. Oleh karenanya, pihaknya terpaksa menghubungi Pengadilan Tipikor Kupang untuk mengatur jadwal ulang sidang.

"Dan ditunda itu bukan satu dua hari, bisa menunggu lagi seminggu. Karena menunggu cuaca benar-benar ini. Karena kapten kapal pun tidak berani," kata Boby.

Meski sering menghadapi badai dan ombak besar, Boby mengaku tetap berani menjalani tugas. Di samping itu, ia mengaku tidak terlalu pandai berenang.

"Kalau soal takut, ya pasti ada. Saya juga nggak pandai berenang," tegas Boby.

"Tapi bukan berarti rasa takut itu boleh mengalahkan tanggung jawab kita. Kita yang membuat perkara ini," imbuhnya.

Boby menambahkan, perkara tersebut harus diselesaikan segera agar tujuan hukumnya tercapai. Sehingga, tersangka bisa diproses sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku.

Menurut Boby, keberanian itu, tak lepas dari didikan kedua orang tuanya, khususnya sang ibu. Sejak kecil, Boby ditanamkan didikan untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan pemberani.

"Karena mamak saya sampaikan, saya anak laki-laki sesatunya. 'Kakakmu ada empat', berarti ada empat yang harus saya jaga," jelas Boby.

Sementara Calon Jaksa Kejaksaan Negeri Rote Ndao I Gede Oka Cosmei Digo Permana juga membenarkan cuaca sering menjadi hambatan utama. Apalagi, jika sudah ada rencana berangkat namun tidak ada kapal di pelabuhan.

"Kapal cepat nggak ada, kapal lambat juga nggak ada, pesawat juga kosong," ujar I Gede Oka.

Hal ini membuat mereka harus berkoordinasi ulang dengan berbagai pihak untuk menjadwal ulang seluruh agenda, baik untuk pelimpahan perkara maupun sidang. Kisah Boby dan jaksa lainnya di Rote Ndao mengajarkan keadilan harus tetap ditegakkan meski ombak menghadang.

detikcom bersama Kejaksaan Agung menghadirkan program khusus yang mengungkap realita penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program ini tidak hanya menyorot upaya insan kejaksaan dalam menuntaskan kasus, namun juga mengungkap kisah dari dedikasi dan peran sosial para jaksa inspiratif.

Program ini diharapkan membuka cakrawala publik akan arti pentingnya institusi kejaksaan dalam kerangka pembangunan dan penegakan supremasi hukum di masyarakat. Saksikan selengkapnya di sini.

(prf/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |