Semarang -
Zara Yupita Azra, kakak tingkat dokter Aulia, dituntut 1,5 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Zara diyakini jaksa melakukan kekerasan dan ancaman kekerasan.
"Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Zara Yupita Azra selama 1 tahun dan 6 bulan, dikurangi dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani," kata jaksa penuntut umum (JPU) Efrita di PN Semarang, dilansir detikJateng, Selasa (8/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efrita menyebut perbuatan Zara telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang Pemerasan juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang perbuatan berlanjut.
Jaksa menilai Zara terbukti melakukan pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri maupun orang lain secara melawan hukum, dengan cara memaksa orang lain menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membuat utang, atau menghapuskan piutang.
"Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang yang ada hubungannya sedemikian rupa," urainya.
Jaksa menyebut tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana terdakwa. Namun, ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam menyusun tuntutan.
Hal yang meringankan yakni Zara dinilai sopan dan telah mengakui serta meminta maaf atas perbuatan yang dilakukannya. Sementara perbuatan Zara dinilai memberatkan karena menimbulkan rasa takut hingga tekanan psikologis.
"Perbuatan Terdakwa dilakukan secara terstruktur dan masif. Terdakwa selaku residen di lingkungan pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya informalitas kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan," urainya.
"Perbuatan terdakwa menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis ke lingkungan pendidikan. Perbuatan Terdakwa menciptakan suasana intimidatif dan refleksi sehingga menghilangkan kehendak bebas para residen," lanjutnya.
Baca selengkapnya di sini
(idh/imk)