Jakarta -
Hukum seringkali dipersepsikan sebagai perangkat keras yang memisahkan benar dan salah secara hitam-putih. Namun di tangan Jaksa Esterina Nuswarjanti, hukum menjadi jembatan untuk penyembuhan dan pemulihan.
Dalam menangani berbagai perkara pidana ringan, ia memilih jalan yang tidak umum, yaitu Restorative Justice (RJ). Adapun RJ adalah pendekatan penyelesaian perkara dengan memprioritaskan perdamaian dan pemulihan keadaan, bukan pembalasan.
Dalam prosesnya, Ester berperan sebagai penengah yang mempertemukan korban dan pelaku. Tak sekadar menegakkan hukum dari balik meja persidangan, ia bahkan turun langsung ke masyarakat guna menggali alasan di balik tindak pidana serta memahami situasi korban. Dia meyakini tidak semua pelaku pantas menjadi narapidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang dia salah. Dia salah, dia sudah mengakui kesalahannya. Bukan berarti dia harus menjadi seorang penjahat, bukan. Jadi kita upayakan gimana supaya para terdakwa itu bisa kembali ke jalan yang benar. Terus tidak dikucilkan dari masyarakat, dari orang lain," ungkapnya dalam sesi wawancara dengan detikcom.
Ester pun menceritakan salah satu kasus menyentuh yang ia tangani adalah pencurian motor oleh seorang penggali kubur. Setelah didalami, ternyata pelaku menjual motor tetangga yang dicurinya demi membeli perlengkapan sekolah anak.
"Yang ngambil itu terpaksa karena butuh untuk biaya sekolah anaknya yang masih SMP. Kalau dapat uang, mau dibelikan buku tulis, pensil, pulpen, ya perlengkapan sekolah lah. Jadi seperti itu. Dia juga udah kalut, udah bingung mau cari uang di mana. Itu pun laku, misalkan motor itu mungkin lakunya paling Rp 900 ribu kok. Itu motor tahun 93 kok, motor sudah lama itu," paparnya. Kan dari situ udah kelihatan kalau orang bukan sindikat kan (karena) kok malah bingung (jualnya)," terang Ester.
Ester menyebut setelah upaya mediasi, korban akhirnya berbesar hati memaafkan. Kedua pihak pun sepakat berdamai.
"Harus benar-benar mengenal dulu korbannya gimana, nanti kita baru akan tahu memang rasanya korban itu ada alasan-alasan dia mau memaafkan, dia memang sebenarnya orang baik itu ada sebenarnya. Kadang baru seminggu (korban) masih emosi lah, biasa misalnya seperti itu tapi kalau sudah beberapa minggu atau sudah mau habis biasanya mencair. Biasanya ada yang galau kenapa harus tak laporkan, ada yang gitu. Ada terus minta kita supaya dilakukan RJ itu," tuturnya.
Ester menegaskan hati nurani harus bicara dalam setiap penanganan perkara. Menurutnya, tidak semua yang melanggar hukum pantas dicap sebagai penjahat. Banyak dari mereka hanya sedang terdesak dan butuh pertolongan, bukan hukuman.
"Ajaran agama itu kan mesti kita bisa memaafkan orang. Tidak harus semua dihukum, semua harus masuk penjara. (Kalau) Tuhan aja mengampuni, masa kita yang manusia tidak bisa mengampuni," kata Ester.
Kini, semangat RJ yang dibawanya telah menular ke rekan-rekan sejawat. Ia tak segan berbagi ilmu dan pengalaman, bahkan melibatkan jaksa-jaksa muda dalam proses RJ agar lebih banyak perkara yang dapat diselesaikan secara humanis.
"Sampai sekarang itu Bu Ester juga sudah menularkan ke beberapa teman untuk diajak mengerjakan atau menyelesaikan perkara itu tidak semata-mata di meja hijau tapi dengan restorative justice. Jadi sudah ada beberapa jaksa itu yang sudah diperkenalkan, diajak sama Bu Ester untuk belajar mengenai RJ," ujar Jaksa Fungsional Bidang Intelijen, Kejaksaan Negeri Yogyakarta Juanita Indah.
detikcom bersama Kejaksaan Agung menghadirkan program khusus yang mengungkap realita penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program ini tidak hanya menyorot upaya insan kejaksaan dalam menuntaskan kasus, namun juga mengungkap kisah dari dedikasi dan peran sosial para jaksa inspiratif.
Program ini diharapkan membuka cakrawala publik akan arti pentingnya institusi kejaksaan dalam kerangka pembangunan dan penegakan supremasi hukum di masyarakat. Saksikan selengkapnya di sini.
(ega/ega)