Indonesia Police Watch (IPW) menegaskan DPR dan pemerintah harus segera mengesahkan revisi KUHAP (RKUHAP) sebagai pembaruan hukum acara pidana Indonesia. IPW menyampaikan ada tujuh perubahan penting dalam RKUHAP.
"IPW menyatakan bahwa keberadaan RKUHAP sangat mendesak terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tanpa hukum acara yang baru, sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi menghadapi kekosongan hukum (legal vacuum) yang dapat menghambat implementasi KUHP," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso kepada wartawan, Senin (17/11/2025).
Sugeng menilai bahwa KUHAP yang berlaku saat ini sudah berusia lebih dari empat dekade dan belum dirancang untuk menjawab perubahan sosial, kebutuhan perlindungan HAM, maupun perkembangan kejahatan digital. Sehingga IPW menilai perlu pembaruan hukum yang diatur dalam RKUHAP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu, pembaruan melalui RKUHAP dipandang krusial," ujar Sugeng.
Berikut 7 perubahan penting dalam RKUHAP menurut IPW.
1. Penguatan peran advokat sejak tahap penyelidikan. Selama ini, tersangka sering baru mendapatkan pendampingan setelah memasuki proses penyidikan, padahal hak konstitusionalnya dapat terlanggar sejak tindakan penyelidikan dimulai. Reformasi ini merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa pendampingan hukum sejak awal merupakan bagian dari prinsip due process of law, serta konsisten dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menempatkan advokat sebagai mitra sejajar aparat penegak hukum. Menurut IPW, paradigma baru ini sejalan dengan teori due process model (Herbert Packer) dan prinsip Rule of Law sebagaimana dikemukakan A.V. Dicey.
2. Penataan ulang kewenangan Polri dalam penyelidikan dan penyidikan agar lebih akuntabel dan tidak membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Pembaruan ini mempertegas kewajiban penyidik mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sejak awal proses, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 dan pembatasan tindakan paksa sebagaimana diatur dalam Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 serta selaras dengan kerangka UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. IPW menilai perubahan ini penting dalam kerangka checks and balances dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang objektif dan menghidari potensi keberpihakan.
3. Dalam konteks perkembangan kejahatan digital, IPW menyoroti bahwa RKUHAP untuk pertama kalinya mengatur secara komprehensif tindakan paksa modern seperti penyadapan, penggeledahan elektronik, dan pembekuan aset digital. Selama ini, tindakan tersebut belum memiliki landasan kuat dalam KUHAP dan hanya berdasar pada undang-undang sektoral seperti UU TIPIKOR, UU TPPU, maupun UU ITE. Padahal, Putusan MK No. 5/2019 mengharuskan adanya dasar hukum eksplisit terkait penyadapan. Karena itu, IPW memandang RKUHAP mengisi kekosongan itu dan merupakan penerapan prinsip proportionality (Robert Alexy) serta pemikiran hukum progresif (Satjipto Rahardjo).
4. Penguatan mekanisme restorative justice (RJ). Selama ini, mekanisme RJ hanya hidup melalui peraturan institusi seperti Perpol No. 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020, sehingga belum menjadi bagian dari sistem acara pidana nasional. Dengan masuknya RJ ke dalam RKUHAP, penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara tertentu memperoleh legitimasi formal di tingkat UU, sejalan dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
5. RKUHAP juga memperkokoh koordinasi antar lembaga penegak hukum melalui Integrated Criminal Justice System (ICJS). Dalam KUHAP lama yang masih berlaku sampai dengan saat ini, hubungan antara penyidik dan penuntut umum selama ini terdampak oleh ketidakjelasan mekanisme pra-penuntutan sehingga kerap banyak perkara yang mangkrak. KUHAP lama tidak menyediakan system integratif yang kuat, sehingga masing-masing institusi berjalan sectoral (silo system). RKUHAP memperkuat peran penuntut umum dalam mengawasi penyidikan, termasuk menetapkan batas waktu SPDP, kewajiban penyidik melaporkan perkembangan, dan mekanisme pemeriksaan kelengkapan berkas yang lebih sistematis. Reformasi ini sejalan dengan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 serta prinsip koordinasi dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, sehingga tidak lagi terjadi fenomena silo system antar institusi penegak hukum.
6. RKUHAP memberikan dasar hukum eksplisit bagi bukti elektronik dan bukti digital, termasuk transaksi digital, rekaman elektronik, media sosial, dan cloud storage. Selama ini aparat penegak hukum bertumpu pada ketentuan pembuktian dalam UU ITE, UU Tipikor, dan UU TPPU, karena KUHAP belum mengatur alat bukti elektronik secara formal. IPW menyebut bahwa pengaturan ini mencerminkan prinsip hukum yang adaptif sebagaimana pemikiran Satjipto Rahardjo mengenai hukum responsif.
7. IPW juga menilai penguatan perlindungan korban menjadi capaian penting RKUHAP. Jika KUHAP lama masih menempatkan korban sebagai pihak pasif, kini korban diberikan hak atas informasi, restitusi, dan perlindungan dari ancaman sesuai UU No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK dan prinsip internasional dalam UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Perubahan ini sejalan dengan teori victimology (Benjamin Mendelsohn, Von Hentig) bahwa korban merupakan subjek yang harus dilindungi.
Dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dan perkembangan teknologi peradilan pidana, IPW menilai RKUHAP menjadi instrumen fundamental pembaruan hukum acara pidana. Tanpa pengesahan RKUHAP, IPW menilai implementasi KUHP baru akan timpang dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Maka dari itu IPW dengan ini mendesak pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan RKUHAP menjadi undang-undang," imbuhnya.
(rfs/gbr)


















































