Herannya Ferry Irwandi saat TNI Sebut Temukan Dugaan Pidana Lain

4 hours ago 3
Jakarta -

TNI mengaku menemukan dugaan tindak pidana lain yang lebih serius terhadap pendiri Malaka Project, Ferry Irwandi usai tak bisa melaporkan karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ferry mengaku bingung.

Ferry mengaku bingung pidana apa yang akan menjeratnya. Ferry mempertanyakan siapa yang dirinya sakiti.

"Terkait case saya kenapa saya diperkarakan segitunya, dicari segitunya, saya nggak tahu sampai sekarang," kata Ferry dalam diskusi bertajuk 'Bahaya Militerisme: Ancaman Pembela HAM dan Militerisasi Ruang Siber' yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil, Jumat (12/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang terakhir ini dapat lagi, dapat tindakan pidana yang lebih serius. Saya kayak kagum gitu. Mereka ini kenapa? Siapa yang saya sakiti," tambahnya.

Kemudian, Ferry juga membahas soal Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang telah berbicara terkait kasusnya. Baginya, hal ini aneh karena ia hanya warga sipil biasa.

"Orang seorang Pak Yusril Ihza Mahendra udah ngomong, Pak Mahfud udah ngomong, semua udah ngomong, udah-lah ini. Mereka masih berpikir kami menemukan tindak pidana lebih serius setelah kemarin mentok. Saya warga sipil biasa, apa yang dicari?" ujarnya.

Ferry pun kembali mempertanyakan upaya TNI mencari dugaan tindak pidana tersebut. Ia mempertanyakan apa yang membuat ia dianggap mengancam.

"Saya malah bingung ketika ditanya, dicari-cari Cyber, dicari Puspen TNI, dibilang ada tindakan ancaman serius, apa yang saya ancam ya? Makanya saya juga wonder, bingung juga," ungkapnya.

TNI Temukan Indikasi Pidana Lain

TNI menyatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa institusi tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik sesuai UU ITE. Namun, TNI mengaku menemukan dugaan tindak pidana lainnya terkait Ferry Irwandi.

"TNI memahami dan menghormati penuh Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa institusi tidak bisa menjadi pelapor dalam delik pencemaran nama baik. Namun, kami menemukan indikasi tindak pidana lain yang sifatnya lebih serius," kata Kapuspen TNI Brigjen Marinir Freddy Ardianzah kepada wartawan, Jumat (12/9).

Freddy mengatakan pihaknya sedang membahas mengenai dugaan tindak pidana yang dimaksud di internal. "Karena itu, langkah selanjutnya adalah mengkaji ulang dan membahasnya di internal TNI, menyusun konstruksi hukum yang sesuai," kata dia.

Freddy memastikan TNI menaati hukum dan menghormati kebebasan berpendapat. Dia mengingatkan publik agar tidak melakukan provokasi dan menyebarkan disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK).

"Prinsipnya, TNI sangat menghormati hukum, TNI akan taat hukum, TNI tidak akan membatasi dan sangat menghormati kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara. Kami berharap seluruh warga negara dalam menyampaikan pendapatnya juga tetap mentaati koridor hukum yang berlaku," ujar Freddy.

"Jangan menyebarkan disinformasi, fitnah dan kebencian. Jangan memprovokasi dan mengadu domba antara aparat dengan masyarakat, maupun antara aparat TNI dengan Polri yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa," lanjut dia.

Legislator: Banyak yang Lebih Mendesak

Anggota Komisi I DPR RI, Junico Siahaan, mengatakan masih banyak kasus di luar yang mesti ditindak oleh TNI.

"Dalam konteks UU ITE, kita perlu memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara proporsional. Banyak kasus lain yang secara substansi lebih mendesak dan berdampak luas yang juga perlu mendapat perhatian aparat," kata Junico kepada wartawan, Jumat (12/9/2025).

Junico pun mempertanyakan dasar TNI ingin melaporkan Ferry atas tuduhan pencemaran nama baik. Ia mengatakan perhatian dari TNI semestinya tak menyasar perseorangan.

"Padahal banyak yang lebih urgen untuk ditindak karena melanggar UU ITE. Perhatian penegak hukum sebaiknya tidak hanya difokuskan pada kasus perorangan yang dinilai tidak mengandung ancaman langsung terhadap kepentingan publik secara luas," ujar legislator PDIP ini.

Ia juga menekankan pentingnya melindungi kebebasan berekspresi setiap warga negara. Hal ini, kata Nico, termaktub dalam konstitusi negara, yakni UUD 1945.

"Dalam negara demokrasi, lembaga negara, termasuk institusi pertahanan, harus menunjukkan keteladanan dalam menyikapi kritik dan ekspresi warga negara," ujar Junico.

"Ruang digital adalah ruang publik, yang tidak bisa serta-merta disterilkan dari suara-suara yang berbeda pendapat," sambungnya.

Ia menyebut Komisi I DPR berkomitmen mengawal kebebasan berekspresi sekaligus mendorong ruang digital yang sehat. Nico menyinggung proses hukum tak boleh dijadikan pembatas bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi.

"Proses hukum tidak boleh dijadikan instrumen pembatas aspirasi rakyat, melainkan harus menjadi jaminan atas rasa aman dan keadilan bagi seluruh warga negara," katanya.

Putusan MK terhadap UU ITE

Putusan MK nomor 105/PUU-XXII/2024 tersebut diucapkan dalam sidang pleno MK pada 29 April 2025 oleh sembilan hakim konstitusi. Kesembilannya yaitu Suhartoyo selaku ketua merangkap anggota serta Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Anwar Usman, Daniel Yusmic P Foekh, Arief Hidayat, M Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani yang masing-masing sebagai anggota.

Pemohon perkara ini adalah Daniel Frits Maurits Tangkilisan yang merupakan karyawan swasta. Dalam permohonannya, Daniel memohon MK agar MK menguji UU ITE Pasal 27A, Pasal 45 ayat 4, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 45A ayat 2.

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. MK menyatakan frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A serta Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan'," bunyi amar putusan MK.

Komentar Yusril

Langkah TNI mau melaporkan Ferry atas pencemaran nama baik menuai respons dari Menteri Koordinator (Menko) Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. Yusril menegaskan isi putusan MK tersebut sudah jelas.

"Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus pencemaran nama baik itu korbannya yang harus melaporkan itu adalah individu, bukan institusi. Saya kira clear masalah itu," kata Yusril, Kamis (11/9).

Yusril mempersilakan jika ingin menempuh upaya hukum lain di luar dari dugaan pidana pencemaran nama baik. Pihaknya tetap menghormati proses hukum yang berlaku.

"Kalau ada langkah-langkah hukum yang mau ditempuh silakan saja, tapi bukan dengan delik pencemaran nama baik, karena pencemaran nama baik itu kan kasusnya adalah individu," jelas Yusril.

(azh/azh)


Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |