Kejaksaan Agung resmi menetapkan CEO Navayo International AG, Gabor Kuti (GK), masuk daftar pencarian orang (DPO). Gabor merupakan salah satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit Navayo atau user terminal satelit slot orbit 123 BT (bujur timur) Kemhan pada 2016.
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyebut pihaknya telah melakukan panggilan secara patut terhadap Gabor. Namun panggilan itu tak kunjung diindahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Benar sudah dinyatakan DPO yang bersangkutan setelah dilakukan pemanggilan beberapa kali terhadap yang bersangkutan," kata Anang kepada wartawan, Senin (22/9/2025).
Anang menyebut Gabor telah resmi menjadi buron sejak Selasa, 22 Juli 2025. Dia tidak pernah hadir kala dipanggil sebagai saksi hingga menjadi tersangka.
"Sudah dipanggil sebagai saksi sebanyak tiga kali tidak pernah hadir dan sudah dipanggil sebagai tersangka sebanyak dua kali nggak pernah hadir," jelas Anang.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer Kejaksaan Agung (Jampidmil Kejagung) mengusut perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan. Kejagung menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
"Penyidik pada Jampidmil telah menetapkan tersangka pertama, Laksamana Muda TNI (Purn) L, selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK). Kedua, ATVDH (selalu perantara). Ketiga, GK selaku CRO Navayo International AG," kata Kapuspenkum Kejagung saat itu, Harli Siregar, dalam keterangannya, Rabu (7/5).
Harli menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. Kasus berawal ketika Kementerian Pertahanan Republik Indonesia melalui tersangka L menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada Juli 2016 tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai USD 34.194.300 dan berubah menjadi USD 29.900.000.
"Bahwa penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa, di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari (tersangka) ATVDH," jelasnya.
Navayo International AG mengakui telah mengirim barang kepada Kementerian Pertahanan RI. Kemudian ditandatanganilah empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG.
Sampai dengan tahun 2019, Kementerian Pertahanan RI tidak tersedia anggaran pengadaan satelit. Kemudian dilakukan pemeriksaan atas pekerjaan Navayo International AG oleh ahli satelit Indonesia atas permintaan penyidik koneksitas Jampidmil.
"Dengan kesimpulan pekerjaan Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah Program User Terminal karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 buah tidak ditemukan secure chip inti dari pekerjaan user terminal, hasil pekerjaan Navayo International AG terhadap user terminal tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di Slot Orbit 1230 BT, dan barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa," imbuhnya.
Kemudian Pertahanan RI diharuskan membayar USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura. Hal itu karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP).
Sementara menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan sebesar IDR 1,92 miliar.
Kemudian ditetapkanlah ketiga tersangka seperti yang telah disebutkan di atas. Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi.
"Pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat satu kesatu juncto Pasal 64 KUHP," paparnya.
Tersangka juga dijerat dengan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu, juncto Pasal 64 KUHP.
"Lebih subsider Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP," pungkas Harli.
Tonton juga Video: Eks Dirjen Kemhan dkk Divonis 12 Tahun Bui Korupsi Satelit
(ond/isa)