Calon hakim agung Agustinus Purnomo Hadi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang bagi KPK untuk menangani perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan militer. Namun, menurutnya, juga perlu adanya aturan hukum acara yang jelas agar kewenangan itu bisa dilakukan.
Hal itu disampaikan Agustinus saat fit and proper test calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA yang digelar Komisi III DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Mulanya anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Martin Tumbelaka, bicara pidana koneksitas.
"Menurut pandangan Bapak, ini kan koneksitas kan sudah berlaku di kejaksaan, di kejaksaan sudah diterapkan, menurut pandangan Bapak relevan nggak ini diterapkan juga di lembaga yang lain, contoh KPK?" tanya Martin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Martin, banyak kasus yang korupsi yang melibatkan militer dan sipil mulanya diproses oleh KPK, tetapi tak diterapkan koneksitas. Martin mencontohkan kasus mantan Kabasarnas Marsdy TNI Henri Alfiandi tersangka di KPK dalam kasus suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan.
"Karena saya melihat ada beberapa kasus, contoh ada beberapa waktu yang lalu ada satu kasus di Basarnas, yang diproses KPK dan di KPK, ternyata dia 60 hari waktunya sudah putus, ada dua anggota TNI saat itu Kepala Basarnas dan Kasubdit, itu ternyata prosesnya 2 tahun baru selesai karena tidak diterapkan koneksitasi itu," ujarnya.
"Menurut pandangan Bapak relevan nggak itu ditarik ke institusi penegak hukum yang lain termasuk KPK?" sambung Martin.
Menjawab itu, Agustinus mengatakan MK pernah mengeluarkan putusan KPK dapat mengenai perkara tipikor yang dilakukan oleh militer. Hal itu, berlaku bila kasus sejak awal ditangani oleh KPK.
"Tahun 2024 kalau tidak salah, atau 2025 awal, Mahkamah Konstitusi memutuskan pada putusan MK itu ketika berawal dari kasus tipikor Basarnas yang ramai di media karena ditangkap oleh KPK, di putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa KPK bisa menangani perkara Tipikor yang dilakukan oleh militer, apabila sejak awal memang ditangani oleh KPK," jelas Agustinus.
Selain itu, kata dia, peralatan yang dimiliki KPK pun lebih canggih. Sebab itu, menurutnya, KPK dapat dilibatkan menangani perkara tipikor jika sejak awal memang diproses oleh KPK.
"Tentu KPK itu kan menurut saya peralatannya lebih canggih dibanding mungkin penegak hukum di lingkungan TNI, untuk penyadapan juga punya kewenangan alat-alatnya lebih canggih, memonitor untuk menangani sejak awal itu ada peluang besar," paparnya.
"Berdasarkan putusan MK itu tentu kalau sejak awal KPK menangani bisa dilibatkan, atau menangani perkara-perkara tindak pidana korupsi," sambung dia.
Namun, Agustinus menilai perlu adanya aturan hukum yang mengatur mengenai keterlibatan KPK dalam pidana koneksitas. Agustinus pun mengusulkan agar hal itu dapat diatur dalam RUU KUHAP.
"Hanya memang kalau koneksitas ini menjadi belum bisa operasional juga, bagaimana jika KPK dengan TNI, atau nanti bagaimana peran jaksa agung muda pidana militer jika terlibat KPK untuk menangani perkara tipikor yang dilakukan militer dan sipil, meskipun sejak awal KPK mungkin sudah menangani," tuturnya.
"Nah ini perlu diatur di hukum acara KUHAP, di RUU atau di undang-undang KPK sendiri," imbuh Agustinus.
(amw/rfs)