Bencana alam banjir bandang terjadi di Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga orang warga tewas dan empat orang lainnya hilang.
"Sebanyak 3 orang ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa, 2 orang luka-luka dan 4 lainnya masih dalam pencarian atas bencana banjir bandang," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi (Kapusdatinkom) Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Selasa (9/9/2025).
Peristiwa banjir bandang itu terjadi di wilayah Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, NTT pada Senin (8/9). Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalops) BNPB mencatat ketiga korban meninggal dunia merupakan satu anggota keluarga yang terjebak banjir bandang di dalam sebuah pondok di tepi Sungai Malasawu. Setelah dievakuasi, ketiga korban segera dibawa ke puskesmas terdekat dan diserahkan kepada kerabat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara terhadap empat orang yang dinyatakan hilang, tim gabungan dari BPBD Kabupaten Negekeo, Basarnas, TNI, Polri, relawan dan warga masih terus melakukan pencarian dan pertolongan. Kondisi cuaca yang tak menentu membuat upaya SAR sedikit terhambat. Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat tim di lapangan.
Banjir bandang tersebut juga telah menyebabkan sejumlah kerugian material meliputi 1 rumah hanyut, 2 kantor pemerintahan, 3 ruas jalan tertutup longsor, 2 unit jembatan terdampak, lahan sawah dan perkebunan terendam, ternak yang di gembala pun turut terkena imbas. Tim BPBD Kabupaten Nagekeo masih melanjutkan pendataan di lapangan.
Waspada Bencana Susulan
Berdasarkan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah Kabupaten Nagekeo masih berpotensi diguyur hujan dengan intensitas ringan hingga sedang sampai dua hari ke depan atau Rabu-Kamis (10-11/9).
Kondisi cuaca tersebut tentunya dapat berpotensi menjadi pemicu terjadinya bencana banjir hingga tanah longsor. BNPB mengimbau seluruh warga di Nagekeo, khususnya di Kecamatan Mauponggo agar tetap meningkatkan kewaspadaan dan mengikuti arahan pemerintah daerah setempat.
"Sudah menjadi sifat banjir perbukitan maupun pegunungan, seperti yang terjadi di Mauponggo. Air sungai yang semula jernih dapat menjadi keruh dan menggelora dalam waktu yang singkat, terlebih jika wilayah hulu sungai mendapat pasokan air dalam jumlah yang sangat besar akibat hujan dengan intensitas tinggi dalam durasi yang cukup lama. Banjir bandang juga sangat berpotensi terjadi apabila vegetasi di wilayah hulu dan lereng perbukitan mengalami kerusakan," katanya.
Muhari menambahkan, Kecamatan Mauponggo yang secara geografis berada di wilayah pesisir bagian selatan Kabupaten Nagekeo, memiliki kontur pegunungan-perbukitan di bagian utara, yang juga menjadi daerah hulu sungai. Secara demografis, permukiman warga Mauponggo lebih banyak berada di lereng, jalur aliran sungai hingga pesisir yang menghadap langsung dengan Laut Sawu.
Kondisi tersebut harus mendapat perhatian dari masyarakatnya sendiri maupun pemerintah daerah, bahwa mitigasi bencana banjir bandang mulai dari bagaimana upaya menahan material di hulu, pengaturan aliran air agar tidak mendadak besar dan melindungi masyarakat di hilir melalui sistem peringatan dini serta pengelolaan tata ruang menjadi hal yang tidak boleh diabaikan.
Mitigasi struktural seperti perbaikan vegetasi di hulu, pembuatan sabo dam, check dam, kanal pengatur atau saluran pengalihan air, penguatan tebing sungai dan zona penyangga wilayah hilir harus diperkuat.
Di samping itu manajemen mitigasi non-struktural yang meliputi pemetaan wilayah rawan banjir bandang, penguatan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat harus terus dilakukan oleh pemerintah daerah guna memperkuat pondasi demi meminimalisir dampak risiko bencana.
Selanjutnya pengelolaan tata ruang seperti relokasi, larangan mendirikan bangunan di zona rawan bencana dan pengendalian aktivitas penambangan juga harus diatensi dan dikuatkan, sehingga bencana serupa dapat dicegah.
(jbr/maa)