Anggota BP MPR Soroti Ketimpangan Desentralisasi, Ingatkan Peran Pusat

4 hours ago 4

Jakarta -

Anggota Badan Pengkajian (BP) MPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo menyampaikan pentingnya penguatan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi yang adil dan berkelanjutan. Hal tersebut ia tuangkan dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari ini.

Dalam diskusi bertema 'Hubungan Pusat dan Daerah (Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah)' itu, ia menegaskan meskipun otonomi daerah memberikan ruang bagi percepatan pembangunan dan partisipasi masyarakat, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari ketimpangan fiskal, kesenjangan SDM, hingga tumpang tindih regulasi.

"Banyak regulasi pusat justru menarik kembali kewenangan daerah, padahal semangat awal otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah," ujar Firman dalam keterangannya, Rabu (9/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam paparannya, Ia menjelaskan beberapa daerah terutama di wilayah timur Indonesia seperti NTT dan Papua masih tertinggal dalam hal pembangunan dan infrastruktur, meski memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Firman memberi contoh NTT yang seharusnya bisa menjadi lumbung garam nasional, peternakan dan sorgum untuk mendukung swasembada pangan namun belum mendapat dukungan serius dari pemerintah pusat.

Selain itu, Firman mengkritisi lemahnya koordinasi antar level pemerintahan, khususnya antara gubernur dan bupati/walikota.

"Gubernur sebagai wakil pusat sering tidak dihormati oleh kepala daerah kabupaten/kota. Bahkan saat mengundang rapat, banyak bupati yang tidak hadir karena merasa bukan di bawah kendali gubernur. Ini harus dibenahi," tegasnya.

Firman juga menyoroti ketergantungan fiskal daerah terhadap dana transfer pusat, yang menyebabkan kepala daerah terpaksa mencari pendapatan alternatif, salah satunya dengan menaikkan pajak. Namun, hal ini dinilai dapat memicu gejolak sosial, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati baru-baru ini.

"Jangan sampai gejolak di satu daerah menular dan mengguncang stabilitas politik nasional. Pemerintah pusat harus bijaksana dan responsif terhadap dinamika di daerah," tambahnya.

Firman menekankan perlunya koreksi terhadap posisi DPRD dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebut DPRD memiliki posisi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan mitra sejajar Kepala Daerah.

Lebih lanjut, Ia berharap ke depan pemerintah pusat tidak hanya membuat kebijakan seperti digitalisasi layanan, tetapi benar - benar melihat kesiapan dan kenyataan di lapangan, terutama di daerah terpencil.

Melemahnya Praktik Desentralisasi di Indonesia

Anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus Senator DPD RI Dedi Iskandar Batubara menyoroti melemahnya praktik desentralisasi di Indonesia. Ia menilai semangat otonomi daerah semakin tereduksi akibat berbagai regulasi yang menarik kewenangan daerah kembali ke pusat.

Menurutnya desentralisasi sejatinya memiliki tiga tujuan utama, yakni politik, ekonomi, dan administratif. Namun, kondisi saat ini justru membuat daerah kehilangan peluang untuk mengelola sumber daya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Daerah yang kaya sumber daya, seperti tambang nikel atau batubara, justru masih dihantui angka kemiskinan tinggi. Kekayaannya lari ke pusat, masyarakat setempat tetap miskin," ucapnya.

Ia merekomedasikan empat langkah yang harus segera dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah pusat lebih banyak melibatkan daerah dalam pengambilan kebijakan. Kedua, memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk mengelola potensi dan sumber daya. Terakhir, mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah dengan dukungan khusus dari pusat.

"Kalau mekanisme politik tetap sentralistik, kepala daerah akan sibuk cari dukungan ke pusat, bukan mengurus daerahnya. Padahal semangat otonomi harusnya memberi ruang bagi daerah untuk tumbuh," ujar Dedi.

Sentralisasi Kewenangan dan Risiko Ketimpangan Daerah

Diskusi ini turut diisi oleh Peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Siti Zuhro. Ia menuding Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bukti bagaimana kewenangan strategis daerah, mulai dari pengelolaan sumber daya alam hingga tata kelola ekonomi ditarik kembali ke Jakarta.

Dalam dua dekade terakhir, praktik pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah nyaris tidak berjalan. Indikatornya adalah lebih dari 430 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Kalau pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT kepala daerah setinggi itu. Kelemahan mendasar negara ini ada di pengawasan," katanya.
Zuhro memperingatkan pola seragam ala pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti resep yang sama.

"NKRI ini unik dengan 415 kabupaten dan puluhan provinsi. Kebijakan seragam justru kontraproduktif. Daerah maju tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah 3T," imbuh Zuhro.

Zuhro menekankan tanpa pemetaan menyeluruh terhadap daerah kebijakan pusat berisiko salah sasaran. Ia mencontohkan Jakarta yang tetap mendapat alokasi jumbo, sementara daerah perbatasan tertinggal.

(akn/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |