Panitia kerja (Panja) Revisi Undang-undang (RUU) KUHAP menyepakati sejumlah hal dalam rapat di Komisi III DPR RI, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini. Salah satunya soal penyitaan.
Rapat tersebut digelar Kamis (13/11). Berikut sejumlah hal yang dibahas dalam rapat tersebut.
1. Penyitaan Mendesak
Panja menyepakati penyidik dapat melakukan penyitaan mendesak tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri (PN). Namun penyidik tetap harus melaporkan penyitaan tersebut dalam waktu 5 hari kerja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulanya, tim perumus dan tim sinkronisasi membacakan draf awal Pasal 112A. Berikut ini bunyinya:
Ayat (1), dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua PN hanya atas benda bergerak dan untuk itu dalam waktu 5 hari (awalnya 2 hari) kerja wajib melapor kepada Ketua PN guna memperoleh persetujuannya.
Ayat (2), keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi:
A. Letak geografis yang susah dijangkau
B. Tertangkap tangan
C. Tersangka berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan alat bukti secara nyata
D. Benda atau aset itu mudah dipindahkan
E. Adanya ancaman serius terhadap keamanan nasional atau nyawa seseorang yang melakukan tindakan segera
F. Situasi berdasarkan penilaian penyidik
Wamenkum Eddy Hiariej mengatakan Pasal 112A hanya mencakup 3 ayat. Sebab, ayat 3 telah dihapus dan tercakup dalam ayat 1.
Eddy Hiariej menambahkan pada ayat 4, Ketua PN memiliki waktu untuk mengeluarkan persetujuan atau penolakan penyitaan selama 2 hari kerja. Maka, total perizinan penyitaan itu 7 hari kerja.
"Lalu, ayat-4 nya berbunyi. Sama, Pak, 'Ketua PN paling lama 2 hari kerja, terhitung sejak penyidik meminta persetujuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan'. Sehingga total hingga dia mengeluarkan penetapan itu 7 hari kerja pak," kata Eddy.
"Jadi Pasal 112A itu hanya 3 ayat," sambungnya.
Kemudian, ayat 1 menjadi berbunyi, "Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua PN hanya atas benda bergerak dan itu paling lama 5 hari kerja wajib meminta persetujuan kepada Ketua PN".
Ketua Panja Habiburokhman pun menyetujui perubahan tersebut. Dia pun menanyakan persetujuan para peserta rapat.
"Oke sepakat teman-teman?" kata Habiburokhman sambil mengetok palu.
Kemudian, draf pada Pasal 112B berbunyi:
Ayat (1), dalam hal Ketua PN menolak untuk memberikan izin sebagaimana dimaksud pada pasal 112A ayat 1 Atau persetujuan penyitaan pasal 112A ayat 4 penetapan penolakan harus disertai dengan alasan.
Ayat (2), terhadap penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dapat mengajukan kembali permohonan penyitaan terhadap benda yang sama kepada Ketua PN hanya 1 kali.
Ayat (3), penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hasil penyitaan tidak dapat dijadikan alat bukti.
Ayat (4), setelah mendapatkan penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat satu penyidik wajib segera mengembalikan benda yang disita kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda pada saat melakukan penyitaan paling lama tiga hari terhitung sejak penetapan penolakan diterima.
Eddy menyetujui perubahan pasal 112B. Menurut dia, penyidik saat akan mengajukan permohonan ulang memang harus melengkapi dengan alasan.
"Setuju? Ketok?" tanya Habiburokhman yang dijawab setuju.
2. Pengamatan Hakim
Selanjutnya, panja menyepakati pengamatan hakim bisa menjadi alat bukti. Panja menyatakan pengamatan hakim menjadi alat bukti dalam rangka untuk memperkuat keyakinan hakim.
Mulanya, tim perumus dan tim sinkronisasi membacakan adanya penambahan ayat pada Pasal 222 RUU KUHAP. Ayat tersebut mengatur terkait pengamatan hakim sebagai alat bukti.
Habiburokhman mengatakan pengamatan hakim sebagai alat bukti ini diperlukan khususnya dalam tindak pidana yang struktural. Salah satunya ialah tindak pidana pada anak.
"Dalam tindak pidana tertentu terutama itu yang struktural, kekerasan seksual terhadap anak, apa begitu, kadang-kadang itu bukti sulit yang ada, alat bukti yang biasa sulit. Tapi bisa diyakini itu pelakunya. Kurang lebih begitu," kata Habiburokhman.
"Makanya kalau hakimnya yakin, ya dihukum aja," sambung dia.
Dalam kesempatan itu, Wamenkum Eddy Hiariej menyetujui penambahan ayat tersebut. Menurut dia, dalam beberapa negara, pengamatan hakim memang termasuk dalam alat bukti.
"Jadi memang betul, Pak, kami setuju dengan pengamatan hakim, karena itu yang kalau kita lihat dalam alat bukti itu kan kita sudah tidak lagi menggunakan petunjuk, Pak. Bahkan dalam pembahasan KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 itu dibilang bahwa memang ada kekeliruan dalam menterjemahkan sebagai petunjuk hakim," jelas Eddy.
"Yang betul memang pengamatan hakim, Pak. Dan memang dalam hukum acara di berbagai negara itu pengamatan hakim itu masuk, Pak, dalam alat bukti," lanjutnya.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan pengamatan hakim lahir dari keterangan saksi hingga keterangan terdakwa. Eddy mengatakan pengamatan hakim ini bertujuan untuk memperkuat keyakinan hakim.
"Jadi dia melihat dari persidangan, kemudian dari keterangan saksi, terdakwa, surat, dan ada alat bukti yang kita tambahkan di sini, itu pengamatan hakim sebagai alat bukti dalam rangka memperkuat keyakinan hakim," jelas Eddy.
Habiburokhman pun menyetujui hal tersebut. Dia juga meminta persetujuan peserta rapat.
"Oke? Setuju ya?" tanya Habiburokhman yang disetujui para peserta rapat.
3. Hak Penyandang Disabilitas
Panja turut menyepakati saksi penyandang disabilitas dapat memberikan keterangannya bebas tanpa hambatan dan setara dengan saksi lainnya. Panja menilai saksi penyandang disabilitas tidak harus dibedakan dengan saksi lainnya.
Mulanya tim perumus dan tim sinkronisasi membacakan penambahan rumusan pada penjelasan Pasal 137. "Ketentuan ini menyimpang dari pasal 145 dan pasal 135, yaitu terkait penyandang disabilitas, saksi penyandang disabilitas memiliki kekhususan pengaturan, yaitu setiap orang yang dapat memberikan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia dengar sendiri, atau pun tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangannya relevan dengan kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, atau orang yang memiliki dan atau menguasai data dan atau informasi yang berkaitan dengan perkara pidana yang diperiksa, setiap saksi termasuk penyandang disabilitas berhak memperoleh dukungan untuk memberikan keterangannya secara bebas dan tanpa hambatan," bunyi Pasal 137.
Ketua Panja Habiburokhman mengatakan penyandang disabilitas memang memiliki kekhususan. Dia menyinggung soal kemampuan indra.
"Jadi intinya gini ya kalau saksi yang umum yang klasik, melihat sendiri mendengar sendiri mengalami sendiri," kata Habiburokhman.
"Kalau orang disabilitas ya kalau nggak salah dia malah punya six sense, jadi dia bisa tahu membedakan orang, dia nggak ngelihat, dia bisa tahu membedakan orang tanpa melihat, kemampuan ini berbeda dengan orang yang bisa melihat, kita nggak punya kayak indra kayak begitu," sambungnya.
Sebab itu, menurutnya, perlu ada pengaturan tersendiri mengenai saksi penyandang disabilitas. Dia mengatakan saksi penyandang disabilitas tidak harus melihat atau mendengar jika akan menjadi saksi.
"Ada pengaturan sendiri nggak harus melihat sendiri, mungkin kan buta, tapi dia bisa membedakan dan ini tidak berlaku untuk orang yang tidak disabilitas. Kalau orang yang tidak disabilitas harus melihat sendiri mengalami sendiri," katanya.
Wamenkum Eddy Hiariej menyetujui penambahan penjelasan tersebut. Menurutnya, hal itu sesuai dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Saya setuju, Pak, karena di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu mengenai saksi disabilitas tidak dibedakan dengan yang lain, karena mereka memiliki kekhususan sendiri itu di luar sebagai sesuatu yang tadi ketua jelaskan, jadi tidak menjadi soal kalau dia diatur secara tersendiri, artinya afirmasi, saya setuju itu," ujar Eddy.
Habiburokhman pun menanyakan persetujuan para peserta rapat. Kemudian, para peserta rapat pun menyetujuinya.
Selanjutnya, Panja juga menyepakati terkait fasilitas bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan. Panja menilai negara wajib memberikan perlindungan bagi kelompok rentan. Berikut bunyi draf pasal 5 ayat 1:
Pasal 5 ayat 1, "kewenangan penyelidik, melakukan asesmen dan mengupayakan fasilitas dan atau rujukan bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan."
Usulan penjelasannya ialah asesmen yang dimaksud antara lain melakukan penilaian terhadap kondisi fisik psikologis, sosial dan keamanan perempuan, dan kelompok rentan yang terlibat dalam perkara pidana baik sebagai korban, saksi, tersangka maupun terdakwa.
Kemudian, usulan penjelasan mengupayakan fasilitas atau rujukan bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan ialah memastikan bahwa proses penyelidikan berjalan dengan memperhatikan kebutuhan khusus, termasuk penyediaan fasilitas yg ramah perempuan dan anak, pendamping psikologis, penerjemah, juru bahasa isyarat atau layanan medis.
Eddy mengaku menyetujui usulan tersebut. Menurutnya kelompok rentan perlu diberikan perlindungan.
"Kita harus memberikan perlindungan kepada mereka kelompok rentan, ini memang kita terkait kebutuhan anggaran dan sebagainya, tapi di satu sisi kita pun harus memberikan penghormatan kepada hak mereka," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR Bimantoro Wiyono pun sependapat dengan Eddy. Menurutnya, juru bahasa juga diperlukan oleh para penyandang disabilitas.
"Saya sepakat dengan Pak Wamen, menurut saya kemarin dari kawan-kawan organisasi disabilitas ini menjelaskan bahwa butuh akan juru bahasa salah satunya, juru isyarat, karena mereka memiliki hak yang sama, jadi kalau kita mengacu pada HAM, tentu mereka punya hak yang sama juga dari situ," papar Bimantoro.
Habiburokhman mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan untuk memperhatikan persoalan kelompok rentan. Habiburokhman pun kemudian menanyakan persetujuan para peserta rapat.
"Ya kalau arahannya Pak Prabowo sih, memang kita concern terhadap persoalan begini, terhadap hak-hak perempuan, kelompok-kelompok rentan, soal konsekuensi biaya tar Pak Prabowo aja yang cari, tenang aja, aman, oke? Insyaallah ya," ujar Habiburokhman.
Selanjutnya, pada rapat Kamis (13/11/2025), panja menyepakati anak-anak dan penyandang disabilitas mental dapat menjadi saksi tanpa disumpah. Aturan tersebut disesuaikan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terkait disabilitas. Berikut bunyi Pasal 208 RUU KUHAP:
Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji adalah
a) Anak yang belum berumur 14 tahun atau
b) Penyandang disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual
"Gimana? Aman?" tanya Habiburokhman yang disetujui para peserta rapat.
(isa/isa)


















































