Tiga Catatan Penting Badan Pengkajian MPR soal Reformasi Keuangan Negara

3 hours ago 3

Jakarta -

Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok IV menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Sistem Keuangan Negara, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial.

FGD ini digelar sebagai upaya memperdalam kajian strategis terkait tata kelola keuangan negara dan dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

FGD yang digelar Selasa (23/9) dipimpin Anggota Badan Pengkajian MPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanul Haq yang menghadirkan sejumlah pakar dan ahli, yakni Erwin Permana, Edi Slamet Irianto, Henry Hutagaol dan Haula Rosdiana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam paparannya Maman menegaskan bahwa tema FGD ini dipilih karena relevan dengan kondisi aktual, khususnya terkait peran pajak dalam memperkuat demokrasi dan menopang perekonomian nasional. Menurutnya, pajak bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan juga cerminan hubungan antara negara dan warga negara.

"Kalau kita bicara pajak, maka kita bicara soal ekonomi negara, bicara tentang kemakmuran, dan pada akhirnya tentang kesejahteraan rakyat. Tujuan bernegara adalah menghadirkan kemakmuran seluas-luasnya bagi rakyat," ujar Maman dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9/2025).

Maman merangkum tiga poin penting dari FGD. Pertama, perlunya perumusan ulang undang-undang perpajakan agar lebih tepat sasaran dan menjadi landasan kuat dalam pengelolaan keuangan negara. Kedua, penataan otoritas pemungut pajak agar lebih sederhana dan jelas, sehingga tidak membebani masyarakat maupun pelaku usaha. Ketiga, optimalisasi penerimaan negara dari sumber daya alam strategis seperti nikel, batubara, dan kelapa sawit yang diyakini mampu memberikan pemasukan signifikan bagi negara.

"Semua masukan ini akan kami bawa ke rapat pimpinan MPR untuk kemudian dirumuskan sebagai bagian dari rekomendasi resmi MPR RI. Ini menjadi penting karena target besar kita adalah mewujudkan Indonesia Emas 2045. Langkah menuju kesana harus dimulai dari pembenahan pengelolaan keuangan negara," tuturnya.

Pada jalannya forum ini, para ahli mengemukakan kegelisahannya terkait kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang cenderung masih jauh dari kondisi ideal, khususnya menuju Indonesia Emas 2045.

Pakar Ahli, Edi Selamat Irianto menyoroti struktur APBN 2024 yang tercatat masih mengalami defisit hingga ratusan triliun rupiah meski nilai ekspor komoditas seperti CPO, batubara, dan nikel mencapai ribuan triliun rupiah.

Ia menilai rendahnya penerimaan negara, terutama dari PNBP, dipengaruhi oleh skema royalti yang kecil dan praktik penyimpanan hasil pengelolaan SDA di luar negeri.

"Supaya negara kita benar-benar maju, kalau dikelola dengan baik, maka bansos itu bukan Rp600 rupiah, tapi Rp600 ribu, bahkan bisa 2 juta misalkan. Kalau dikelola dengan betul" ujarnya.

Edi menyampaikan redefinisi keuangan negara sesuai UUD 1945 juga perlu dilakukan, termasuk peninjauan kembali kewenangan Kementerian Keuangan yang dinilai terlalu dominan.

Ia juga mengusulkan pembentukan Badan Otoritas Penerimaan Negara agar fungsi perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat lebih fokus, dan Menteri Keuangan tetap bertugas sebagai bendahara negara.

Sementara itu ahli lainnya, Erwin Permana, menyampaikan bahwa problem peraturan perundangan di Indonesia ada pada dua titik, yaitu pada perumusan dan penerjemahan.

Ia menjelaskan hasil kajian menggunakan Importance Performance Analysis (IPA) menunjukkan proses perumusan perubahan UUD 1945 belum sepenuhnya memperhatikan aspirasi masyarakat.

"Yang paling tidak memuaskan adalah proses perumusan yang seharusnya memberi arah jelas pada pembangunan nasional, namun faktanya belum optimal," ujarnya.

Sementara itu terkait penerapan tujuan utama kegiatan ekonomi, ia menilai masih banyak praktik yang berorientasi pada keuntungan pribadi atau korporasi.

"Tujuan utama kegiatan ekonomi seharusnya mencapai kesejahteraan bersama, bukan semata keuntungan pribadi atau perusahaan. Ini yang paling banyak dikeluhkan responden," tegasnya.

Ahli lainnya, Henry Hutagaol, juga memberi perhatian terhadap perdebatan penafsiran konstitusi antara originalism dan living constitution. Baginya, pendekatan tekstual sering kali berbenturan dengan dinamika zaman.

"Kalau originalism, penafsirannya fix. Hakim sedapat mungkin jangan membuat penafsiran menyimpang. Kalau ada yang mau berubah, silahkan ubah teksnya dulu. Tapi ini repot, karena zaman dan bahasa pun berkembang," ujarnya.

Ia mencontohkan persoalan anggaran pendidikan yang secara tekstual ditetapkan 20% dalam UUD, namun prakteknya meluas ke berbagai pos.

"Di negara maju seperti Jepang, tidak ada ketentuan 20 persen. Tapi teks kita berbunyi demikian," katanya.

Lebih lanjut, Henry juga menyinggung kerancuan batasan keuangan negara, mulai dari APBN, APBD, hingga badan hukum publik seperti BI, OJK, dan BUMN.

"Kadang BUMN ngaku negara kalau minta monopoli, tapi begitu menetapkan tarif, dia ngaku swasta. Begitu kolaps, balik lagi minta ditopang negara. Ini yang tidak fair," tegasnya.

Sementara itu Haula Rosdiana menyampaikan bahwa momentum reformasi kebijakan perpajakan Indonesia semakin mendesak di tengah kondisi global yang rapuh dan penuh paradoks.

"Kalaupun memang akan ada perubahan, mungkin ini menjadi momentumnya. Sekarang kita sudah tidak bicara lagi sekadar Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity_ (VUCA world), tapi sudah masuk BUNNY world brittle, anxious, non-linear, non-comprehensible. Begitu rapuhnya kondisi sekarang, apalagi dengan generasi muda yang gampang cemas," ujarnya.

Ia menyoroti paradoks kebijakan pajak yang kerap tidak matang, bahkan menimbulkan kegaduhan. Salah satunya saat penerapan pajak barang dan jasa tertentu.

Contohnya seperti pajak SPA Tiba-tiba dikenakan tarif minimum 40%, maksimum 75%. Haula juga menekankan perlunya penyederhanaan instrumen pajak, seperti pajak karbon yang bisa diintegrasikan dengan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

"Daripada bikin pajak baru, kenapa tidak streamline saja dari pungutan yang sudah ada? Supaya lebih sederhana dan jelas bagi masyarakat," jelasnya.

Bagi Haula, inti permasalahan pajak di Indonesia adalah krisis kepercayaan. Ia menegaskan bahwa pajak juga merupakan instrumen demokrasi dari rakyat untuk rakyat, relasi paling intim antara negara dengan warganya.

"Tapi kenapa orang enggan bayar pajak? Jawabannya sederhana: trust. Yang mahal sekarang ini adalah trust. Kalau tidak ada trust, orang tidak akan patuh," pungkasnya.

(prf/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |