Terdakwa Sebut Korupsi Tata Kelola Minyak Sebenarnya Proses Bisnis Biasa

2 weeks ago 12

Jakarta -

Mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN), Riva Siahaan, membantah kerugian negara sebesar Rp 285 triliun dalam kasus tata kelola minyak mentah karena tak sesuai dengan etika dan pedoman pengadaan. Pihak Riva mengklaim kerugian yang terjadi karena proses bisnis.

"Kerugian negara terjadi, menurut surat dakwaan, karena adanya perbuatan koperasi PT PPN sesuai dengan tujuan anggaran dasar dalam melakukan impor BBM dan penjualan BBM, dalam pelaksanaannya dinyatakan tidak dilakukan sesuai prinsip dan etika pengadaan, dan penjualan solar nonsubsidi tidak sesuai pedoman, padahal apa yang terjadi itu adalah proses bisnis dan upaya pengelolaan portofolio sebagaimana seharusnya," kata tim kuasa hukum Riva Siahaan saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kuasa hukum Riva menyebut kliennya hanya menjalankan tugas dan fungsi sesuai jabatan serta tidak menerima duit terkait kegiatan pengadaan tersebut. Pihak Riva mengklaim apa yang dilakukan Riva semata demi keuntungan perusahaan.

"Tidak ada uraian bahwa pernah ada misalnya intervensi dari Terdakwa, apalagi kongkalikong, padahal Terdakwa hanya melakukan pekerjaan sesuai tugas dan wewenang jabatan demi keuntungan perusahaan," ujarnya.

Kuasa hukum Riva juga menyinggung kasus pencopotan Hendri Antoro dari jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar). Pihak Riva menegaskan apa yang terjadi dalam pengadaan terkait tata kelola minyak mentah merupakan dinamika proses bisnis.

"Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah dakwaan itu masuk akal? Apalagi jika dibandingkan dengan kasus bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat di atas. Sebab, hukum harus logis atau masuk akal, barulah itu hukum yang benar," ujarnya.

"Tapi menurut surat dakwaan karena pengadaan tidak dilakukan sesuai prinsip dan etika pengadaan dan penjualan tidak sesuai pedoman, padahal yang terjadi adalah dinamika proses bisnis dan pengelolaan portofolio yang notabene jelas ditunjukkan dengan PT PPN selama ini tidak merugi," tambahnya.

Dalam surat dakwaan, kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 285 triliun. Ada dua hal yang diduga menjadi pokok permasalahan, yaitu terkait impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) serta terkait penjualan solar nonsubsidi.

Berikut detail perhitungan kerugian negaranya:

1.⁠ ⁠Kerugian Keuangan Negara

•⁠ ⁠USD 2.732.816.820,63 atau USD 2,7 miliar atau Rp 45.091.477.539.395 atau Rp 45,1 triliun (kurs Rp 16.500)
•⁠ ⁠Rp 25.439.881.674.368,30 atau Rp 25,4 triliun

Atau totalnya Rp 70.531.359.213.763,30 (Rp 70,5 triliun)

2.⁠ ⁠Kerugian Perekonomian Negara

•⁠ ⁠Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut sebesar Rp 171.997.835.294.293 atau Rp 172 triliun
•⁠ ⁠Keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar USD 2.617.683.340,41 atau USD 2,6 miliar atau Rp 43.191.775.117.765 atau Rp 43,1 triliun (kurs Rp 16.500 ribu)

Atau totalnya Rp 215.189.610.412.058 (Rp 215,1 triliun).

Nah dari kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara maka didapatkan Rp Rp 285.969.625.213.821,30 atau Rp 285 triliun lebih. Namun penghitungan ini menggunakan kurs rata-rata saat ini, tentunya jumlah itu akan berbeda apabila Kejagung menggunakan kurs lain.

(mib/dhn)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |