Jakarta -
Wayang Potehi, seni tradisional yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai, semakin jarang terdengar gaungnya di Indonesia. Namun, Syarifa Syifaa Urrahmah memilih untuk mendalami dan melestarikan seni ini. Lulusan Sastra Jawa, Universitas Indonesia ini menjelma sebagai dalang Wayang Potehi.
Syarifa menjelaskan, Wayang Potehi berasal dari Tiongkok dan memiliki arti 'boneka kantong'. Mulanya, seni ini hanya ditampilkan di kelenteng. Namun seiring waktu, pertunjukan Wayang Potehi mulai merambah ke ruang publik lainnya, seperti mal hingga sekolah.
Ketertarikan Syarifa terhadap Wayang Potehi bermula saat ia belajar di Rumah Cinta Wayang (Rumah Cinwa), sebuah komunitas seni di Depok, Jawa Barat, yang didirikan oleh dosennya, Dwi Woro Retno Mastuti. Di sana ia pertama kali mengenal Wayang Potehi sebagai hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka dikenalkan, ada lho Wayang Potehi, ini akulturasi China-Jawa, bagaimana cara memainkannya, terus akhirnya kami juga sempat pentas juga sama teman-teman. Dari tahun 2021," kenang Syarifa.
Baginya, karakter Wayang Potehi yang beragam menjadikan seni ini memiliki daya tarik tersendiri. Selain itu cerita-cerita yang dibawakan juga erat dengan nilai kehidupan, misalnya kisah Sun Go Kong atau Si Jin-kui.
Syarifa menghadapi tantangan besar saat belajar menjadi dalang Wayang Potehi, salah satunya adalah ia dituntut agar memahami bahasa Hokkien untuk suluk atau nyanyian pembuka dalam pertunjukan Wayang Potehi.
"Jadi, waktu pertama kali saya belajar, waktu itu dengan kakak kelas saya juga, itu kan kita ada suluk. Suluk itu seperti pembuka, atau sebetulnya pembuka untuk setiap karakter tokoh, sih. Nah itu menggunakan bahasa Hokkien. Bahkan bukan Mandarin. Tapi lebih tradisional. Nah itu sulit sih, menurut saya. Cuman, akhirnya kita belajar, dan mencoba sih. Alhamdulillah bisa," tutur Syarifa.
Syarifa bertekad untuk terus melestarikan Wayang Potehi. Melestarikan Wayang Potehi berarti menyelami budaya yang jauh berbeda dengan dirinya. Sebagai perempuan Muslim berhijab dan bukan keturunan Tionghoa, penampilannya saat menjadi dalang sering mendapat komentar negatif.
"Kayak, 'Lho kok ini (dalangnya) berkerudung?' gitu kan. Terus, kadang kan kita juga memasang dupa juga, ya. Pasti kalau (komentar) miring, itu banyak. Cuman, kalau saya pribadi sih pastinya untuk melestarikan aja ya," jelas Syarifa.
Oleh karena itu, Syarifa dan Rumah Cinwa punya strategi untuk mengenalkan Wayang Potehi ke khalayak luas. Melalui media sosial, Rumah Cinwa memperkenalkan Wayang Potehi kepada khalayak muda. Selain itu, terdapat pula acara mingguan bertajuk Minggu Semata Wayang yang memperkenalkan Wayang Potehi kepada anak-anak berusia dini.
Tak hanya mementaskan cerita-cerita klasik, Rumah Cinwa juga menghadirkan cerita-cerita yang relevan dengan masyarakat Indonesia. Di waktu-waktu tertentu, Rumah Cinwa juga mementaskan kisah perjuangan kemerdekaan yang menghadirkan tokoh Soekarno dan Achmad Soebardjo. Rumah Cinwa menyebutnya sebagai Potehi Urban.
"Kita juga mengelaborasi juga dengan urban juga sekarang. Karena kan Potehi ini juga hampir langka dan punah ya. Apalagi di Depok, di Jabodetabek, gitu," ucap Syarifa.
Bagi Syarifa, melestarikan Wayang Potehi adalah tanggung jawab besar. Oleh karena itu, Syarifa dengan Rumah Cinwa, tak dapat melangkah sendirian.
"Semoga pemerintah bisa melihat bagaimana kita melestarikan budaya langka ini. Dan juga tentunya masyarakat. Supaya lebih melek lagi, dan juga mau melestarikan bersama-sama, gitu," tandas Syarifa.
(nel/ppy)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu