loading...
Mojtaba Hosseini Khamenei, putra kedua dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Foto/ncr iran
TEHERAN - Mojtaba Hosseini Khamenei, putra kedua dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, merupakan salah satu figur paling berpengaruh namun misterius dalam struktur kekuasaan Republik Islam Iran.
Meski tidak pernah memegang jabatan resmi di pemerintahan, namanya kerap dikaitkan dengan berbagai kebijakan strategis negara, mulai dari urusan militer hingga represi terhadap gerakan rakyat.
Mojtaba memainkan peran penting di balik layar, membangun kekuasaan melalui jaringan keluarga, militer, dan institusi keagamaan, serta disebut-sebut sebagai calon kuat penerus ayahnya dalam posisi tertinggi negara.
Profilnya yang tertutup namun penuh kekuasaan menimbulkan kontroversi, terutama di tengah perdebatan publik mengenai legitimasi, pewarisan dinasti, dan masa depan sistem teokrasi Iran.
1. Latar Belakang dan Pendidikan
Mojtaba Hosseini Khamenei lahir pada 8 September 1969 di kota suci Mashhad, Iran. Ia merupakan anak kedua dari Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran sejak 1989.
Kelahirannya terjadi pada masa gejolak politik menjelang Revolusi Islam 1979, sehingga kehidupan Mojtaba sejak kecil berada dalam atmosfer revolusioner dan ideologis yang sangat kuat.
Ayahnya saat itu sudah menjadi tokoh penting dalam oposisi anti-Shah dan kemudian menjadi presiden Iran (1981–1989) sebelum naik ke jabatan tertinggi negara.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Mojtaba melanjutkan studi ke hawzah (pondok pesantren) di Qom—pusat pendidikan ulama Syiah.
Di sana, ia belajar fikih dan filsafat Islam di bawah bimbingan para ulama terkemuka seperti Ayatollah Mesbah Yazdi dan Lotfollah Safi Golpaygani.
Ia tidak dikenal sebagai ulama terkemuka, namun beberapa kalangan menyebutnya telah mencapai tingkat "Hojjatoleslam", satu tingkat di bawah "Ayatollah".
Hingga kini, ia belum diakui sebagai seorang marja‘ atau rujukan agama oleh kalangan ulama.
Pendidikan Mojtaba juga sangat berorientasi politik dan ideologis. Ia tidak sekadar belajar agama, tetapi juga menanamkan garis keras revolusioner Syiah.
Karakter pendidikannya menggambarkan pola pewarisan kekuasaan di Iran, di mana garis keturunan pemimpin besar turut dibekali pemahaman religius sebagai bekal pengaruh politik.
Namun, minimnya publikasi akademik atau pengajaran formalnya di Qom menunjukkan ia tidak mengambil jalur ulama publik secara tradisional.
2. Pengalaman Militer dan Basij
Mojtaba bergabung dengan Basij—milisi sukarelawan ideologis—pada masa remajanya, dan dilaporkan ikut serta dalam Perang Iran–Irak (1980–1988), khususnya dalam divisi Sayyid al‑Shuhada.
Meski perannya tidak banyak terdokumentasi, keterlibatannya memperkuat hubungan emosional dan strategisnya dengan militer ideologis Iran.
Basij dan IRGC (Pasukan Garda Revolusi) menjadi tulang punggung kekuasaan politik konservatif di Iran.
Setelah perang berakhir, Mojtaba tidak kembali ke kehidupan sipil biasa. Ia justru membangun koneksi militer dan keamanan dalam struktur IRGC.
Ia dikenal sebagai pengatur strategi di balik layar, termasuk dalam pelatihan pasukan elite Basij dan penyusunan doktrin ideologis.
Dalam dekade 2000-an, ia disebut-sebut memegang kendali langsung terhadap unit-unit tertentu dari Basij dan menjadi penghubung antara milisi ini dengan Pemimpin Tertinggi.
Keberadaan Mojtaba dalam Basij dan IRGC tidak bersifat simbolik saja. Ia aktif memberikan pengarahan kepada komandan lapangan dalam menghadapi demonstrasi dan gerakan mahasiswa.
Beberapa mantan pejabat intelijen Iran mengonfirmasi nama Mojtaba sering muncul dalam rapat rahasia pengambilan keputusan militer di level strategis.
Ini menunjukkan perannya bukan hanya sebagai "anak pemimpin", tapi sebagai operator politik dan militer sejati.
3. Pengaruh dalam Kekuasaan Politik
Meskipun tidak pernah memegang jabatan resmi di pemerintahan Iran, Mojtaba Khamenei dikenal luas sebagai “figur bayangan” paling berpengaruh dalam lingkar kekuasaan Ayatollah Ali Khamenei.
Ia dikatakan bertindak sebagai penghubung utama antara ayahnya dengan militer, intelijen, dan faksi politik konservatif garis keras.
Tidak ada keputusan penting yang diambil tanpa keterlibatan langsung atau pengaruh dari Mojtaba.
Dalam Pemilu Presiden 2005 dan 2009, Mojtaba memainkan peran kunci dalam kemenangan Mahmoud Ahmadinejad.
Ia mengarahkan jaringan Basij untuk mendukung Ahmadinejad sebagai representasi kaum miskin dan konservatif, serta mengamankan dukungan dalam proses pemilu.
Setelah Ahmadinejad menjabat, banyak kebijakan kerasnya terhadap Barat dan oposisi domestik sejalan dengan visi Mojtaba dan IRGC.
Lebih dari itu, ia juga mengontrol beberapa media pemerintah dan outlet propaganda, seperti IRIB dan jaringan surat kabar konservatif.