loading...
Muhammad Irfanudin Kuniawan - Dosen Universitas Darunnajah. Foto/Dok pribadi
Muhammad Irfanudin Kurniawan
Dosen Universitas Darunnajah (UDN)
Pendidikan adalah perjalanan yang tak pernah mengenal akhir. Ia adalah siklus yang tak pernah berhenti, seperti aliran air yang terus mengalir tanpa henti, meskipun kadang tersendat oleh bebatuan yang menghadang. Seperti yang terjadi pada para ulama besar masa lalu, yang tak pernah lelah dalam pencarian ilmu, meskipun terkadang harus mengorbankan sesuatu yang amat berharga. Kisah-kisah mereka seharusnya menjadi cermin bagi kita dalam memandang makna sesungguhnya dari pendidikan dan proses belajar mengajar.
Mari kita ambil contoh dari kisah Abu Yusuf, murid tercinta Abu Hanifah. Ketika anaknya meninggal dunia, ia tetap hadir dalam majelis ilmu bersama gurunya. Sungguh, ini bukan keputusan yang mudah. Dalam situasi yang penuh duka, Abu Yusuf memilih untuk tidak terlibat dalam prosesi penguburan anaknya, meskipun itu adalah kewajibannya sebagai seorang ayah. Ia berkomentar dengan penuh rasa takut kehilangan momen berharga, "Aku takut kehilangan momen belajar dari Abu Hanifah yang bisa menyesalku seumur hidup". Kisah ini mengajarkan kita tentang betapa berartinya ilmu, bahwa dalam situasi yang sangat emosional sekalipun, ilmu tetap menjadi prioritas yang tak bisa ditunda.
Hal serupa bisa kita lihat dalam kisah Ibnu Rusyd, seorang filsuf besar dan ahli fikih. Konon, ia hanya meninggalkan waktu untuk belajar dua malam saja, yaitu pada malam wafatnya ayah dan malam pernikahannya. Sebelumnya, selama hidupnya, ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dan membaca. Mengapa? Karena bagi Ibnu Rusyd, setiap detik yang terlewat tanpa ilmu adalah kerugian yang tak bisa digantikan oleh apapun. Hal ini mengingatkan kita bahwa kehidupan seorang penuntut ilmu adalah kehidupan yang penuh dedikasi dan kesungguhan, dengan kesadaran bahwa setiap kesempatan untuk belajar adalah hal yang sangat berharga.
Lalu ada kisah al-Imam al-Syaukani, seorang ulama besar dalam mazhab Zaidiyah yang bahkan dalam sehari bisa menghadiri 13 majelis pengajian. Tak hanya belajar dari gurunya, al-Syaukani juga mengajar murid-muridnya, mengalirkan ilmu yang telah ia serap. Pencapaian ini menggambarkan sebuah etos kerja yang tak mengenal lelah dalam dunia pendidikan. Sebagaimana al-Syaukani, setiap guru dan pendidik seharusnya memiliki semangat yang sama: untuk terus belajar, mengajar, dan mengedukasi dengan sepenuh hati. Dunia pendidikan adalah dunia yang tak mengenal jeda, dan setiap momen belajar adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan.
Ilmu, sebagaimana disampaikan oleh Yahya bin Abi Katsir, memang tidak dapat diperoleh dengan mudah atau "dengan santai". Sebagaimana kita lihat dalam kehidupan para ulama tersebut, ilmu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata. Perjalanan untuk menggapai ilmu bukanlah sebuah perjalanan yang nyaman, tetapi ia adalah perjalanan yang penuh tantangan dan pengorbanan.
Dalam konteks ini, guru memainkan peran yang sangat penting. Sebagai pengajar, mereka tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi mereka harus menjadi teladan dalam semangat belajar. Guru yang baik adalah mereka yang terus belajar sepanjang hidupnya, yang tak pernah berhenti mencari ilmu dan mengajarkannya dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Mereka adalah figur yang menginspirasi, yang tidak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi juga mengajarkan semangat untuk terus menggali ilmu, meskipun dunia terus berubah dan zaman semakin maju.