NU Bekasi hingga Pengurus Ponpes Protes Kebijakan Ijazah Dedi Mulyadi

7 hours ago 2

Bandung -

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi melayangkan protes atas kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait penyerahan ijazah secara sukarela oleh sekolah kepada seluruh siswa. Kebijakan tersebut dinilai dapat berdampak pada keberlangsungan pesantren.

"Kami sangat menyayangkan kebijakan tersebut karena tidak berpihak pada kalangan pesantren, bahkan kebijakan tersebut adalah zalim. Ini sangat menyedihkan," kata Ketua PCNU Kabupaten Bekasi KH Atok Romli Mustofa, dilansir Antara, Jumat (23/5/2025).

Hal itu disampaikan dalam forum audiensi yang dihadiri pengurus PCNU Bekasi, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), perwakilan pesantren, dan diterima pimpinan DPRD Jawa Barat Acep Jamaludin dan anggota DPRD Jabar Fraksi PKB Rohadi di kantor DPRD Jawa Barat, Rabu (21/5).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atok Romli menyatakan kebijakan Gubernur Jabar itu justru menimbulkan keresahan, khususnya bagi kalangan pesantren. Dia mengatakan kebijakan itu dibuat tidak melalui kajian secara komprehensif dan partisipatif, melainkan spontanitas, intimidatif, dan hanya bersifat intuitif Gubernur Jawa Barat.

Kebijakan itu bahkan disertai ancaman kepada pesantren atau sekolah yang menolak tidak akan menerima program bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) hingga pencabutan izin operasional.

Menurut dia, kebijakan itu punya dampak jangka pendek hingga panjang bagi lingkungan pesantren. Dia mengatakan pondok pesantren mendidik dan membina santri tidak hanya di sekolah, melainkan 24 jam penuh.

Ia menganalogikan teori kebutuhan Abraham Maslow, di mana ada kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri yang sudah diberikan oleh pesantren kepada semua santri tanpa pandang bulu dan status sosial.

"Ada biaya yang sangat besar yang dikeluarkan pesantren secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri, yang secara pembiayaan dipenuhi oleh pemerintah," katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat KH Kholid menegaskan pesantren hadir jauh sebelum Indonesia ada dan para pendiri pesantren sejak awal berdiri telah fokus untuk berkontribusi bagi masyarakat melalui pendidikan mandiri.

Dia mengaku, dalam jangka pendek, pengelolaan pondok pesantren dapat dipastikan terhambat oleh kebijakan itu. Alumni dari beragam latar belakang datang ke pesantren untuk meminta hak berlandaskan arahan Gubernur Jawa Barat.

"Sedangkan di sisi lain, ada hak pesantren yang tidak terpenuhi. Tentu hal tersebut akan mengganggu proses belajar-mengajar di lingkungan pesantren," kata Kholid.

Kebijakan tersebut juga akan menimbulkan potensi banyak pesantren gulung tikar dalam waktu dekat karena masalah finansial. "Banyak kasus di Kabupaten Bekasi yang satu pesantren saja sudah mengeluarkan Rp 1-1,7 miliar uang keluar yang belum dilunasi oleh para alumni," ucap dia.

Persoalan lebih serius berpotensi dialami pesantren dalam jangka panjang, yakni degradasi akhlak. Semisal tidak ada lagi takzim kepada guru dan pesantren karena seolah-olah pemerintah sedang mengadu domba santri dengan pesantren yang menahan ijazah.

"Orang tua dan santri tidak diajari tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban. Maka yang akan rusak adalah generasi bangsa. Tidak akan terwujud generasi emas yang dicita-citakan," katanya.

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi HM Syauqi menyatakan kebijakan ini tidak partisipatif karena tidak melibatkan sejumlah unsur terkait bahkan bisa berdampak sangat buruk bagi sektor pendidikan ke depan.

"Memang benar, semua rakyat Indonesia berhak menerima pendidikan secara gratis karena menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh pemerintah. Tapi, apakah pemerintah sudah dan mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin, tidak," kata Syauqi.

Menurut dia pesantren yang sudah mendarah daging dan menjadi jati diri bangsa Indonesia mempunyai peran fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia ada.

Data menunjukkan negara hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri sebanyak 25-35 persen dari jumlah kebutuhan populasi yang ada. Sisanya, peran swasta sangatlah besar.

"Melalui kegiatan audiensi dengan pimpinan DPRD Jawa Barat ini kami berharap ada dorongan dan eskalasi kepada Gubernur Jawa Barat untuk memperhatikan pesantren dan merevisi atau membuat pengecualian kebijakan terhadap pesantren. Solusi dari masalah yang timbul akibat kebijakan tersebut mutlak dibutuhkan," katanya.

Lihat juga Video 'Jan Hwa Diana Tertunduk Lesu Berbaju Tahanan':

(jbr/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |