MK Ubah Pasal Terkait Imunitas Jaksa, Ini Kata Kejagung

4 hours ago 3
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan jaksa kini bisa ditangkap oleh aparat penegak hukum tanpa seizin Jaksa Agung. MK menyatakan jaksa yang melakukan tindak pidana bisa ditangkap melalui operasi tangkap tangan.

Untuk diketahui, aturan yang menyebutkan jaksa hanya bisa dipanggil, diperiksa, dan ditangkap atas perintah jaksa Agung itu tertuang dalam UU 11/2021 di Pasal 8 ayat 5. MK kini mengubah bunyi pasal itu.

Berikut ini bunyi putusan MK yang dibacakan dalam sidang yang diucap oleh Ketua MK Suhartoyo, Kamis (16/10/2025):

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyatakan Pasal 8 ayat 5 UU 11 Tahun 2021 tentang kejaksaan RI bertentangan dengan UU 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat memuat pengecualian dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan keamanan negara, atau tindak pidana khusus, sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi:

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin jaksa agung kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.

MK juga menyatakan Pasal 35 ayat 1 e beserta penjelasannya UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan MK

Hakim konstitusi Arsul Sani mengatakan perlu adanya keselarasan dalam perlindungan hukum aparat penegak hukum. Arsul mengatakan tidak boleh ada pembeda bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan.

"Dengan demikian, untuk menyelaraskan keberlakuan norma Pasal 8 ayat 5 UU 11/2021 dengan semangat yang terdapat dalam prinsip persamaan semua orang di hadapan hukum, khususnya dalam perspektif perlindungan hukum bagi sesama penegak hukum, dan penegakan hukum yang tidak boleh dibeda-bedakan dengan warga negara pada umumnya, maka tidak ada pilihan lain bagi mahkamah berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat 5 UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 secara bersyarat," kata Arsul.

Dissenting Opinion

Dalam putusan ini, ada dua hakim yang menyatakan perbedaan pendapat, yakni hakim Arief Hidayat dan M Guntur Hamzah. Mereka menilai seharusnya MK menolak permohonan pemohon seluruhnya.

"Sepanjang pengujian Pasal 8 ayat 5 dan Pasal 35 ayat 1 huruf e UU Kejaksaan, di mana mahkamah seharusnya menolak dalil para pemohon a quo dengan alasan antara lain Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan secara jelas dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bukan imunitas absolut," kata Suhartoyo saat membacakan dissenting opinion.

Dia mengatakan pasal ini memberikan ruang jaksa agung sebagai advokat general kepada anggotanya. Selain itu, keduanya menilai seharusnya pasal ini tidak diubah karena dianggap sudah sesuai dengan prinsip check and balances.

"Selain itu, ruang partisipasi jaksa agung sebagai advokat general dalam memberikan pertimbangan hukum teknis dalam proses kasasi apabila dilakukan secara profesional, dan akuntabel sejatinya memperkuat prinsip check and balances dalam konteks mewujudkan penegakan keadilan," katanya.

Petitum Pemohon

Permohonan ini terdaftar dengan nomor perkara 15/PUU-XXIII/2025. Pemohon menganggap Pasal 35 ayat 1 huruf g UU Kejaksaan merupakan kewenangan yang tumpang-tindih. Pemohon menilai seharusnya kewenangan jaksa dalam penyidikan hanya sebatas tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam UU.

Pemohon juga menilai kejaksaan memiliki 'wewenang rangkap/ganda' yaitu 'wewenang penyidikan sekaligus penuntutan' dalam proses hukum pidana sebagaimana bersumber pada ketentuan-ketentuan UU yang diuji dalam perkara a quo, maka dapat dipastikan bahwa mekanisme check and balances dalam proses hukum tersebut telah 'terabaikan', atau dengan kata lain, 'wewenang rangka/ganda' yang dimiliki kejaksaan dimaksud terlaksana tanpa kendali (uncontrol) dan tanpa pengawasan horizontal maupun vertikal, sehingga sangat rentan dan potensial untuk terjadinya 'kesewenang-wenangan dan ketidakadilan serta kepastian hukum'.

Adapun petitum pemohon adalah:

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk Seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 11A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30B, Pasal 35 ayat (1) huruf e dan Huruf g Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, (Lembaran Negara 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6755), bertentangan dengan Undang_undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia

Respons Kejagung

Kejagung merespons putusan MK tersebut. Kejagung mengaku tak mempermasalahkan hal itu.

"(Kejaksaan Agung) tidak mempermasalahkan. Cuma kalau ibaratnya ketika dia melakukan tugasnya sebagai jaksa, harus izin," kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna kepada wartawan di komplek Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (17/10).

Anang menyebutkan insan Adhyaksa bukan individu yang kebal hukum. Karena itulah, menurut dia, putusan MK tersebut mengingatkan jaksa untuk bekerja profesional dan berintegritas.

"Jaksa nggak kebal hukum juga kok. Malah ini bagus lah buat kita semua untuk semakin waspada dan berintegritas, bekerja profesional," ucapnya.

"Kan juga itu hanya berlaku untuk kasus yang menyangkut tindak pidana khusus, terus ancaman hukumannya mati, terus salah satu lagi kalau tidak salah menyangkut keamanan negara," imbuhnya.

(whn/imk)


Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |