Legislator PKB Sentil MK Jadi Lembaga Perumus UU: Jangan Tabrak Konstitusi

6 hours ago 2

Jakarta -

Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Khozin menyinggung MK kini yang sudah bertransformasi sebagai lembaga ketiga perumus undang-undang, selain DPR RI dan Presiden.

Hal itu disampaikan Khozin dalam diskusi Fraksi PKB di DPR RI dengan tema "Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK", Jumat (4/7/2025). Khozin menilai kewenangan MK kini tak hanya sebagai penguji dan penafsir konstitusi (the guardian of constitution).

"Perlu kita pahami bersama jika MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Pertanyaannya kemudian ketika MK dengan dalih menjaga agar konstitusi tetap adaptif dengan dinamika jaman (living constitution) lalu bisa bertransformasi sebagai lembaga ketiga setelah presiden dan DPR menjadi perumus undang-undang?" kata Khozin dalam diskusi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengingatkan harus ada penegasan terkait fungsi dan peran MK. Menurutnya, jangan sampai MK menghasilan keputusan yang kontroversial dan berujung pada pembatalan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR RI.

"Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai hal ini tidak ada kepastian hukum," ujar Khozin.

"Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU, ya sudah kita lakukan konstitusional engineering terkait tugas pokok dan tusi dari MK," tambahnya.

Legislator PKB ini menilai putusan 135/PUU-XXII/2024 tentang keserentakan pemilu menjadi paradoks dari putusan nomor 55/2019 yang ditetapkan MK sendiri. Ia menyebut putusan pemilu yang dipisah tak bisa langsung diterapkan oleh pemerintah.

Khozin juga mewanti-wanti jangan sampai putusan MK justru melanggar konstitusi. Ia menilai tak ada ruang kepastian hukum di sana.

"Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam hal ini oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama yang sering kita pahami di dalam Pasal 22E ayat 1 maupun ayat 2 dan Pasal 18 ayat 3, dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa pelaksanaan pemilu itu dilaksanakan 5 tahun sekali," kata Khozin.

"Terus kita mau tafsiri seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan nggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini," imbuhnya.

(dwr/ygs)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |