Kode di Balik 'Jatah Preman' Rp 7 Miliar Gubernur Riau

3 hours ago 1
Jakarta -

Operasi tangkap tangan (OTT) KPK kali ini berhasil menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid. Kerja KPK ini membongkar praktik pemerasan yang dilakukan Abdul Wahid di lingkup Pemprov Riau.

Abdul Wahid dan dua orang lainnya, yaitu Kadis PUPR Riau, M Arief, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam, saat ini telah ditetapkan tersangka oleh KPK. Mereka melakukan kongkalikong terkait pemerasan Rp 7 miliar kepada jajaran di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau.

Sejumlah kode dan modus pemerasan ini telah dibongkar KPK. Dalam menjalankan praktik culasnya itu, ada istilah 'jatah preman' atau fee yang harus disetorkan kepada Abdul Wahid.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setoran 'Jatah Preman'

KPK mengamankan sejumlah barang bukti saat OTT Abdul Wahid, salah satunya uang tunai dengan total Rp 1,6 miliar. Uang dalam bentuk rupiah diamankan di Riau. Sedangkan dalam pecahan dolar dan pound sterling diamankan di Jakarta.

"Tim juga mengamankan barang bukti di antaranya sejumlah uang dalam bentuk rupiah, dolar Amerika, dan pound sterling, yang total kalau dirupiahkan sekitar Rp 1,6 miliar," ujar jubir KPK Budi Prasetyo di gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Budi juga mengungkap modus dalam kasus ini. Kata Budi, ada istilah 'jatah preman'.

"Kemudian ada semacam japrem/jatah preman sekian persen begitu untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya," kata Budi.

Ancam Copot Anak Buah Jika Tak Setor Jatah Preman

KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan. Abdul Wahid disebut mengancam bawahannya jika tak memberikan uang yang disebut 'jatah preman'.

"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025).

Tanak mengatakan kasus ini berawal dari pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025. Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kadis PUPR Riau Arief. Namun, menurut Tanak, Arief yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

"Selanjutnya, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk saudara AW (Abdul Wahid) sebesar 5 persen (Rp 7 miliar)," ujarnya.

KPK menduga sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp 7 miliar. KPK menyebutkan uang itu diberikan secara bertahap.

Sita Rp 1,6 Miliar Setoran Jatah Preman dalam 3 Mata Uang

Dalam OTT yang dilakukan di Riau, KPK awalnya menangkap 7 orang, yaitu Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau berinisial MAS; Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau berinisial FRY; serta 5 Kepala Unit Kepala Teknis Jalan dan Jembatan Wilayah I, III, IV, V, dan VI Dinas PUPR PKPP, yaitu KA, EI, LH, BS, dan RA. Dari OTT tersebut KPK mengamankan uang tunai Rp 800 juta.

Selanjutnya, KPK mencari Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) yang diduga bersembunyi hingga akhirnya ditemukan di salah satu kafe di Riau. KPK juga menangkap orang kepercayaan Abdul Wahid berinisial TM di sekitar lokasi.

KPK lalu menggeledah dan menyegel rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan. Dari hasil penggeledahan tersebut, ditemukan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yaitu sebesar 9.000 pound sterling dan USD 3.000 atau jika dikonversi dalam rupiah senilai Rp 800 juta.

"Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp 1,6 miliar," kata Tanak.

Duit Jatah Preman Mau Dipakai Abdul Wahid ke LN

KPK juga mengendus penggunaan uang jatah preman kepada Abdul Wahid. KPK menduga duit itu akan dipakai Abdul Wahid untuk keperluan pribadinya.

"Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Asep mengatakan uang itu salah satunya diduga akan digunakan Abdul Wahid saat bepergian ke luar negeri. Abdul Wahid disebut akan pergi ke Inggris, Brasil, dan Malaysia.

"Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang pound sterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri, ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia," ujarnya.

Nestapa Anak Buah Penuhi Jatah Preman Abdul Wahid

Selain modus 'jatah preman', KPK juga mengungkap nasib para anak buah Abdul Wahid dalam memenuhi permintaan Gubernur Riau tersebut. Para bawahan yang merupakan kepala unit pelaksana teknis (UPT) disebut sampai meminjam uang untuk memenuhi setoran 'jatah preman' itu.

"Jadi informasi yang kami terima dari kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjem. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain," Asep.

"Ini keterangan dari kepala UPT, ada yang pinjem, ada yang gadaiin sertifikat ke bank, seperti itu," sambungnya.

Asep mengatakan hal tersebut memprihatinkan. Apalagi, katanya, Abdul Wahid sempat menyatakan anggaran untuk Provinsi Riau mengalami defisit.

"Seharusnya, dengan tidak adanya uang, jangan dong minta, gitu loh, jangan membebani pegawainya, jangan membebani bawahannya. Tapi kan ini ironi. Di saat defisit anggaran belanjanya, istilahnya terganggu, sementara malah meminta sejumlah uang," ucap dia.

Kode 7 Batang

KPK mengungkapkan konstruksi kasus dalam operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau Abdul Wahid. KPK menduga Abdul Wahid menerima fee atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan untuk UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan kasus ini berawal pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau, Ferry Yunanda (FRY), mengadakan pertemuan dengan enam kepala UPT Wilayah I-IV Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan pemberian fee kepada Abdul Wahid.

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat agar anggaran untuk UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-IV Dinas PUPR PKPP dinaikkan. Tanak mengatakan semula anggaran UPT Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

Namun, untuk semua itu, mereka harus memberikan fee kepada Abdul Wahid selaku Gubernur Riau. Nilainya Rp 7 miliar atau 5 persen dari anggaran tersebut.

"Bahwa selanjutnya, Saudara FRY menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Saudara MAS selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau. Namun Saudara MAS, yang merepresentasikan Saudara AW, meminta fee sebesar 5 persen (Rp 7 miliar)," kata Tanak dalam jumpa persnya, Rabu (5/11/2025).

Menurut Tanak, apabila ada yang tidak menuruti perintah terkait fee itu, mereka terancam dicopot atau dimutasi. Fee untuk Abdul Wahid itu juga dikenal dengan istilah 'jatah preman'.

Terkait dengan besaran fee Rp 7 miliar, Tanak mengungkapkan fee itu kemudian diberi 'kode' oleh mereka. Kodenya adalah '7 batang'.

"Selanjutnya, seluruh kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Saudara AW sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode '7 batang'," ungkap Tanak.

Abdul Wahid dan dua tersangka lain di kasus ini telah ditahan KPK. Para tersangka dijerat Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(ygs/ygs)


Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |