Kisah Perjuangan Asraf Taklukkan Tantangan Mengajar di Sekolah Rakyat

4 hours ago 2

Jakarta -

Suasana kelas Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 26 Makassar saat mata pelajaran Bahasa Inggris lebih ramai dari biasanya. Bukan karena siswa sibuk bermain di dalam kelas, tapi ternyata ada tawar menawar class agreement antara sang guru Muhammad Asrafil Husein La Ede (25) dan para siswa.

"Sir, jangan terlalu banyak tugas. Sir, di kelas harus banyak main game dan ice breaking. Sir, mau belajar di taman atau outing class," kata Asraf dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).

Perjanjian kelas tersebut berisi daftar kesepakatan antara guru dan murid selama kegiatan belajar mengajar. Skema ini diterapkan sebagai komitmen di kelas sehingga para siswa mematuhi hal-hal yang telah disepakati, salah satunya siswa tidak boleh datang terlambat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asraf mengungkapkan dalam kesepakatan antara guru dan siswa, ada proses tawar menawar yang menyesuaikan dengan kebijakan sekolah. Ia juga mengimprovisasi desain belajar dengan praktik berbahasa Inggris hingga menonton film.

"Pokoknya kalau pelajaran Bahasa Inggris, speaker dan proyektor wajib ada di kelas," ungkap Asraf.

Supaya tak bosan, Asraf kerap memindahkan kegiatan belajar di area taman. Ia juga memberikan ruang untuk anak-anak memberikan masukan soal cara belajar agar lebih semangat belajar.

"Kasih anak-anak itu kenyamanan. Gimana caranya supaya jangan ngantuk, supaya semangat belajar," ucap Asraf.

Asraf mengaku kesan pertama mengajar di Sekolah Rakyat memang berbeda dari sekolah reguler. Sebagai guru yang pernah mengajar di SMP dan SMA reguler, ia menuturkan perbedaannya terletak pada karakteristik para peserta didiknya.

Para guru sempat melakukan asesmen diagnostik baik kognitif dan non kognitif kepada para siswa. Hasilnya ada sejumlah siswa yang putus sekolah dan tinggal sekolah. "Bahkan ada satu siswa saya, SMA loh ini membaca itu masih sulit," jelas Asraf.

Setelah diusut, ternyata anak tersebut pernah berhenti sekolah beberapa tahun. Selama putus sekolah, anak tersebut sama sekali tak menempuh proses pembelajaran apapun. "Bahkan membaca pun masih terbata-bata, masih sekata dua kata," katanya.

Begitu pun dengan kemampuan menulis, Asraf menuturkan anak tersebut juga belum lancar menulis. Maka, ketika guru menulis materi pelajaran di papan tulis, anak tersebut menyalin tulisan ke bukunya per kata.

Tak hanya itu, Asraf mengatakan ada juga anak yang terlihat malas ikut kegiatan keasramaan, kabur-kaburan atau tidak sholat, ternyata di dalam kelas mereka malah pintar. Ada pula anak-anak yang jago mengaji sampai tahfiz. "Memang prosesnya agak cukup challenging," paparnya.

Namun, berkat kehadiran Sekolah Rakyat, anak-anak dari kelompok masyarakat miskin dan miskin ekstrem kini sudah bisa memulai kembali proses pembelajaran. Meski sejumlah siswa memang belum menunjukkan tanggung jawab pada diri sendiri, saat ini program dari guru, wali asrama, dan wali asuh juga ditekankan.

"Bagaimana tanggung jawab pada diri sendiri, bagaimana pada lingkungannya juga. Kalau urusan kognitif itu, kami dari arahan kepala sekolah kita menyesuaikan saja," ungkap Asraf.

Ia pun mencontohkan pelajaran matematika yang memiliki materi padat. Tapi, ternyata ada anak-anak yang malah bisa berhitung penjumlahan dan pengurangan. Padahal, materi itu seharusnya didapat saat jenjang SD.

"Di sini harus dari awal dulu. Bahasa Inggris juga demikian, menghitung 1-10 saja masih ada yang lupa-lupa, menghitung bulan dari Januari sampai Desember saja itu masih susah. Makanya perlahan," jelasnya.

Asraf bahkan memiliki metode ajar khusus seperti memulai pelajaran Bahasa Inggris tidak langsung ke materi grammar meskipun ia mengajar di tingkat SMA. Ia memulai dari vocabulary atau kata-kata yang digunakan sehari-hari.

Tumbuh Setara, Tak Ada yang Tertinggal

Asraf menjelaskan Sekolah Rakyat mengusung konsep setara. Saat ada anak yang titik mulainya tak sama dengan anak lainnya, maka para guru menerapkan empati. Para siswa pun diajak untuk membantu temannya yang kesulitan dalam proses pembelajaran. "Jadi tidak ada yang saling mengejar," ucap Asraf.

Tak hanya soal materi pelajaran, tantangan lain yang dihadapi para guru terkait dengan latar belakang psikologi para siswa. Asraf bercerita para guru dituntut beradaptasi dengan bersikap tegas, di sisi lain juga harus bersikap lembut.

"Karena anak-anak itu di sini lebih banyak butuh wadah untuk misalnya curhat kayak mereka punya masalah pribadi masing-masing, ada yang keluarganya mungkin gimana, ada yang lingkungannya mungkin gimana. Tantangannya sih di situ," jelasnya.

Asraf mengakui persoalan kognitif siswa saat ini memang dinomorduakan. Saat ini, mereka fokus untuk menanamkan pondasi cara bersikap dan beradab, misalnya tidak boleh bicara kasar, memberi salam, dan senyum sapa salam menjadi hal wajib.

"Kognitif itu menyusul, anak-anak juga bisa cepat menangkap pelajaran, kecuali mereka yang start zero," pungkasnya.

(akn/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |