loading...
Gus Baha Beri Catatan Tafsir Kemenag: Benar Saja Tidak Cukup, Harus Nyaman Dibaca/Kemenag
Ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha , memberi catatan, masukan, sekaligus koreksi terhadap Al-Qur’an dan Tafsirnya terbitan Kementerian Agama (Kemenag) . Catatan itu diberikan dalam kapasitas Gus Baha sebagai salah satu anggota tim pakar penyempurnaan ‘Al-Qur’an dan Tafsirnya’.
Koreksi itu disampaikan Gus Baha kepada Tim Sekretariat Penyempurnaan Tafsir Kemenag, Jumat (5/9/2025) di Pesantren Damaran, Kudus, Jawa Tengah. Diskusi ini berlangsung selama tiga jam, dair 18.30 hingga 21.30 WIB.
'Al-Qur’an dan Tafsirnya' terbitan Kemenag terdiri atas 11 jilid, dengan satu jilid pendahuluan. Pada kesempatan ini, Gus Baha menelaah secara detail jilid pertama yang mencakup 519 halaman, dari Surah Al-Baqarah hingga Surah Ali Imran ayat 91. “Catatan saya bukan hanya soal kesalahan penulisan atau harakat, tetapi juga menyangkut substansi yang tidak boleh diabaikan,” ujar Gus Baha di hadapan tim.
Baca Juga: Sejarah Pensyariatan Salat Gerhana, Penting Diketahui Kaum Muslim
Salah satu poin penting yang dikoreksi Gus Baha adalah keberadaan pendapat Yusuf Ali yang menolak konsep naskh-mansukh dalam Al-Qur’an. Menurut Gus Baha, pendapat itu tidak tepat bila dimasukkan dalam Tafsir Kemenag.
“Dalam Islam, naskh dan mansukh itu jelas ada. Contohnya pengalihan kiblat (tahwilul qiblah), masa iddah istri yang ditinggal wafat suami, hingga persoalan fidyah bagi orang berpuasa. Pernah di awal Islam ada dua pilihan, berpuasa atau membayar fidyah, lalu dinaskh dengan ayat ‘faman syahida minkumusy-syahra fal-yashumhu’,” tegasnya.
Ia menambahkan, perbedaan pendapat soal ada atau tidaknya naskh-mansukh tidak bisa dianggap setara. “Khilaf semacam ini tidak boleh dianggap. Dalam fikih, Yusuf Ali jelas keliru, bukan saya yang menyalahkan, tapi konsensus ulama,” tandasnya.
Selain soal substansi, Gus Baha juga menekankan pentingnya penyajian tafsir yang mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat. “Tafsir ini harus bisa dibaca dengan nyaman. Karena itu, istilah-istilah Arab sebaiknya diterjemahkan. Kata balagho, misalnya, jangan dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Ia juga menyoroti penggunaan kaidah transliterasi Arab-Indonesia yang menurutnya sering tidak nyaman dibaca. “Kata tawadu lebih pas ditulis tawadhu’ dengan apostrof. Ria sebaiknya riya’. Bahkan kata Zat mestinya ditulis Dzat. Benar saja tidak cukup, harus nyaman juga bagi masyarakat umum,” kata Gus Baha berulang kali menegaskan.
Proses penyempurnaan 'Al-Qur'an dan Tafsirnya' diagendakan akan berlansgung selama tiga tahun. Anggota tim penyempurnaan terdiri dari ulama pakar tafsir, pakar ulumul quran, pakar Bahasa Arab, pakar sains, dan pakar Bahasa Indonesia.
(aww)