loading...
Arjuna Putra Aldino, Direktur Eksekutif, Geopolitics and Global Political Economy Studies (G2PES) Indonesia. Foto/Dok. SindoNews
Arjuna Putra Aldino
Direktur Eksekutif, Geopolitics and Global Political Economy Studies (G2PES) Indonesia
KOBALT adalah salah satu mineral kritis yang sangat dibutuhkan untuk transisi energi dan pengembangan teknologi tinggi layaknya baterai kendaraan listrik, penyimpanan energi, ponsel pintar, komponen mesin jet dan turbin gas hingga alat kesehatan dan peralatan aerospace. Maka tak heran jika pada tahun 2022, Pentagon berdasarkan data United States Geological Survey (USGS) menjadikan kobalt menjadi salah satu mineral kritis prioritas yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah Amerika Serikat.
Menurut Cobalt Institute, permintaan kobalt global diperkirakan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) 7% dan mencapai sekitar 400.000 ton per tahun (early 2030s) naik dari 222.000 ton di 2024. Laporan International Energy Agency (IEA) juga menyebutkan bahwa pada 2030 permintaan kobalt akan melebihi supply yang ada. Kebutuhan untuk kendaraan listrik (EV) dan baterai adalah yang paling dominan yaitu sekitar 43% dari total konsumsi, dan pangsa untuk kendaraan listrik dan baterai diperkirakan akan tumbuh hingga 57% pada tahun 2030.
Untuk industri pertahanan dan militer, laporan Cobalt Institute menyebut bahwa permintaan kobalt untuk superalloys akan naik hampir empat kali lipat dari 15.000 ton pada 2020 ke 55.000 ton per tahun pada tahun 2050 dan sektor aerospace menyumbang 55% dari penggunaan cobalt-based superalloys.
Sementara menurut U.S. Department of Defense, kebutuhan industri pertahanan dan aerospace akan kobalt layaknya untuk mesin pesawat jet, mesin roket, gas turbin, komponen sistem rudal hipersonik, dan komponen reaktor nuklir adalah kebutuhan yang tak tergantikan.
Upaya penggantian atau substitusi atas kobalt berpotensi mengurangi performa dan keamanan. Terutama di sektor aerospace dan turbine superalloys untuk mesin jet dan rudal hipersonik karena berkaitan dengan stabilitas suhu tinggi dan ketahanan oksidasi.
Artinya, kobalt memberi stabilitas mikrostruktur dan kekuatan pada suhu >1,000°C. Untuk banyak komponen mesin jet atau roket tidak ada substitusi praktis tanpa terjadi penurunan signifikan pada performa atau keselamatan; hampir tak tergantikan.
Namun di tengah kebutuhan kritikal atas kobalt, rantai pasok kobalt secara geopolitik menemui sejumlah tantangan yang cukup beresiko. Terutama bagi negara-negara superpower global yang memiliki kepentingan untuk memastikan pasokan bagi pengembangan teknologi pertahanannya.
Bermasalahnya pada lini rantai pasok berpotensi menurunkan kualitas teknologi pertahanan sebuah negara dan kemudian berdampak seberapa kuat tingkat pertahanan negara tersebut. Hingga akhirnya menentukan seberapa besar dan kuatnya bergaining power negara tersebut ditengah percaturan politik global.
Tantangan Supply Chain dan Strategic Choke Point
Republik Demokratik Kongo (DRC) telah lama menjadi produsen kobalt terbesar di dunia, dengan menyumbang 73% dari produksi global pada 2022. Produksi kobalt di Republik Demokratik Kongo mencapai 95.000 ton metrik pada 2020, menjadikannya negara penghasil kobalt terbesar di dunia.
Namun yang menjadi masalah perusahan-perusahan asal China layaknya China Molybdenum Co (CMOC), Zhejiang Huayou Cobalt, China Nonferrous Metal Mining Group, Jinchuan Group, hingga Wanbao dan pemain China lain menguasai sekitar 60–80% dari produksi kobalt yang ada di Republik Demokratik Kongo.


















































