Doa Ibu dan Sekolah Rakyat, Jalan Sifan Mengejar Cita-cita Jadi Dokter

4 hours ago 3

Jakarta -

Menjadi siswa Sekolah Rakyat adalah sebuah keajaiban bagi Sifan Alyori (16). Ia percaya, doa sang ibu menjadi jalan baginya untuk lolos melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-cita menjadi dokter bedah ortopedi.

"Katanya saya hampir tidak lolos, tapi alhamdulillah akhirnya bisa dan saya bahagia banget. Bisa lanjutkan cita-cita saya untuk sekolah lagi dan suatu hari masuk perguruan tinggi," ujar Sifan dalam keterangan tertulis, Jumat (19/9/2025).

Sejak kecil, Sifan tumbuh di kawasan Jakasampurna, Bekasi Barat bersama sang ibu. Ayahnya meninggal dunia sejak ia berusia empat bulan, sehingga ibunya menjadi tulang punggung keluarga, meski harus berjuang melawan kanker perut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenangan hari pertama masuk Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Bekasi pada 14 Juli lalu masih melekat di ingatannya. Sifan datang bersama sang ibu dengan menumpang angkutan umum.

"Kadang Ibu mencari pekerjaan dari rumah orang. Kalau ada yang butuh bantuan bersih-bersih, Ibu kerjakan. Jadi serabutan, apa saja yang ada," katanya.

Dalam keterbatasan, Sifan ikut membantu sebisanya di rumah sembari tetap menyempatkan belajar dan membaca buku pinjaman sekolah. Semangat itu yang akhirnya membawanya mengenal Sekolah Rakyat, program pendidikan yang digagas Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial.

"Saya kaget saat pertama kali pas dibilang sekolah ini tidak berbayar. Karena sebelumnya ada sekolah lain yang biaya masuknya besar, sementara saya dan ibu kurang mampu. Jadi hadirnya Sekolah Rakyat itu seperti jawaban doa," ungkapnya.

Namun, sang ibu sempat ragu. Baginya sulit dipercaya ada sekolah gratis dengan fasilitas yang biasanya hanya ditemukan di sekolah berbayar.

"Awalnya ibu mikir-mikir, kayak ini beneran enggak? Kayak terlalu ajaib ada sekolah gratis. Saya yang meyakinkan ibu sampai akhirnya setuju," terang Sifan.

Keyakinannya pun muncul karena ia bermimpi menjadi dokter bedah orthopedi, bahkan ia sudah membayangkan jalur pendidikan tinggi yang bisa ditempuh.

"Kalau di luar negeri saya ingin ke Universitas Yonsei, Korea kalau di Indonesia mungkin UI atau UGM," katanya penuh tekad.

Meski demikian, ia sadar perjalanan menuju mimpinya merupakan sebuah proses yang panjang. Kondisi ekonomi membuatnya sempat berpikir realistis, namun harapannya tetap besar.

"Kalau tidak masuk Sekolah Rakyat, mungkin saya berhenti setahun, kerja dulu untuk kebutuhan sehari-hari dan kumpulin uang buat sekolah. Saya pernah bantu-bantu markir, jadi tukang cuci piring, jualan es, pokoknya apa saja yang bisa dilakukan," ungkapnya.

"Harapan untuk diri saya sendiri tuh tetap bertahan, harus disiplin, semangat belajar, dan terus menggapai cita-cita," tegasnya.

Lebih dari itu, Sifan berdoa agar ibunya diberi kesehatan dan panjang umur.

"Saya ingin bisa membahagiakan Ibu dan suatu saat membawa beliau ke Tanah Suci." pungkasnya.

Kisah Sifan menjadi potret nyata bagaimana Sekolah Rakyat bukan sekadar ruang belajar, melainkan pintu harapan bagi anak-anak bangsa. Dengan target berdiri di 165 titik pada 2025 dan menampung lebih dari 15.000 siswa, program ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap anak berhak atas masa depan lebih baik, tanpa terkekang oleh garis kemiskinan.

(akn/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |