Jakarta -
Kehadiran Sekolah Rakyat telah dirasakan manfaatnya oleh anak-anak di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya Akbar Rusman (15) yang kini menjadi siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 26 Makassar.
Sejak menjadi siswa Sekolah Rakyat, Akbar kini tak lagi merasakan tidur di lantai bengkel. "Kini saya dapat tidur berselimut hangat di atas kasur yang empuk," ujar Akbar dalam keterangan tertulis, Selasa (16/9/2025).
Akbar pun menceritakan kehidupannya sebelum tinggal di asrama Sekolah Rakyat. Ia mengaku adiknya yang pertama bersekolah SMP dan adiknya yang nomor dua berada di bangku kelas 3 SD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Akbar mengatakan keduanya sudah putus sekolah sejak tahun 2024. Sedangkan adik bungsunya meninggal saat bayi. Orang tuanya pun telah bercerai pada 2024.
"Waktu itu aku masih SMP kelas 2, mamaku bilang, kalau Akbar sudah lulus, mama tinggalkan," jelasnya.
Sejak kepergian ibunya yang hanya membawa adik perempuannya, Akbar sempat tinggal di rumah bersama ayah dan adik pertamanya. Tapi, ia mengaku tak nyaman tinggal bersama ayahnya dan mulai sering berkunjung ke bengkel tempat sepupu dan pamannya bekerja sebagai montir.
"Waktu itu pertama saya tidak kerja di situ, sepupu saya panggil bilang mau kerja tidak di bengkel. Sampai adik saya ikut sama saya," ucapnya.
Akbar pun akhirnya tak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Ia memilih menjadi montir bersama adiknya di bengkel tempat ia bermalam.
Sayangnya, penghasilan bengkel tempat ia bekerja pun tak menentu. Hal ini membuat penghasilan Akbar tiap harinya juga tak menentu meskipun ia mendapat shift kerja mulai jam 12 malam sampai jam 6 pagi.
"(Penghasilan) kadang turun, kadang naik. Paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 300 ribu," ungkapnya.
Namun, lewat penghasilannya sebagai montir bengkel, ia dapat memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari. Kadang ia juga menyisihkan sedikit uangnya untuk diberikan kepada adiknya.
"Kadang juga saya kasih uang adikku, kalau tidak makan dia," katanya.
Akbar mengaku ia dan adiknya bertahan hidup dari penghasilannya sebagai montir. Ia kerap tidur bersama adik, sepupu dan pamannya di ruangan kecil di bengkel milik orang lain tersebut.
"Tidak ada kamar mandinya, jadi mandi di pom bensin," jelasnya.
Tawaran Masuk Sekolah Rakyat
Kehidupan keras tersebut Akbar jalani sampai akhirnya ayahnya dan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) datang ke bengkel. Pendamping PKH menawarkan Akbar untuk bersekolah di Sekolah Rakyat. Tawaran ini pun diterima Akbar dengan antusias. "Senang, banyak teman," katanya.
Sejak saat itu, Akbar pindah ke asrama Sekolah Rakyat. Ia langsung mendapatkan kamar dengan fasilitas kasur, lemari, meja belajar, rak sepatu, jemuran, dan kipas angin. Ia juga mendapatkan alat tulis, sandal, alat mandi, hingga deodoran.
Pada malam pertama tinggal di asrama, ia tak lagi tidur beralaskan lantai bengkel yang dingin, namun dengan selimut hangat. "Enak tidurnya," katanya.
Tak hanya perubahan kualitas tidur, ia juga mengalami perubahan rutinitas secara drastis. Akbar kini tidur malam lebih cepat dan bangun pagi lebih awal di Sekolah Rakyat.
"Kalau di sini tidurnya jam 9 malam. Bangun jam 4 sebelum salat Subuh," katanya.
Usai salat subuh, Akbar dan siswa lainnya berolahraga, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Masa Pengenalan Sekolah hingga belajar. Ia pun mengaku tak mengalami masa kesulitan belajar atau beradaptasi.
"Yang saya syukuri bisa belajar dengan baik," ucapnya.
Akbar mengaku matematika dan pendidikan kewarganegaraan menjadi mata pelajaran favoritnya. Ia pun bercita-cita untuk mengabdi pada negara dengan menjadi anggota TNI atau polisi.
"Lebih enak di sini. Bisa belajar dengan baik, harapannya sukses dan bisa membanggakan orang tua. Semoga orang tua saya sehat selalu," pungkasnya.
(prf/ega)