Jakarta -
Anggota MPR RI dari Fraksi Gerindra, Sriyanto Saputro menyoroti perbedaan mencolok antara konstitusi Indonesia dan Jepang. Ia mengatakan konstitusi Jepang belum pernah diamandemen sejak pertama kali disahkan, sementara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat kali perubahan sejak era reformasi.
Sriyanto juga menyampaikan pandangan kritis dan reflektif mengenai sejarah dan dinamika amandemen UUD NRI 1945, serta membandingkannya dengan stabilitas konstitusional yang terjadi di Jepang.
"Di Jepang, konstitusinya belum pernah diamandemen. Sementara di Indonesia, sejak reformasi sudah empat kali. Amandemen bukan hal tabu, tapi jangan juga jadi latah," ujar Sriyanto dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bedah buku karya Dr. Isharyanto S.H., M.Hum., berjudul "Hukum Tata Negara Perbandingan: Konstitusi Jepang antara Stabilitas dan Tuntutan Amandemen" dalam Pustaka Akademik di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Gedung Suhardi, Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/10).
Sriyanto menilai amandemen UUD NRI 1945 pasca reformasi membawa dampak positif, seperti pembatasan masa jabatan presiden dan pelaksanaan pemilihan umum secara langsung. Namun, ia juga menyoroti munculnya multitafsir dan kontroversi dalam pelaksanaannya, termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi yang belakangan menuai kritik.
Dalam forum tersebut, ia juga mengingatkan agar amandemen tidak dilakukan hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. "Jadi, pentingnya untuk menjaga konstitusi sebagai pijakan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," tegasnya.
Sementara itu, sang penulis buku, Isharyanto menyoroti pentingnya peran perpustakaan dalam mendukung literasi konstitusional. Ia menekankan meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, kegiatan bedah buku dapat dimaknai sebagai bagian dari fungsi literasi yang diemban perpustakaan.
Isharyanto juga menyoroti budaya politik Jepang yang konservatif dan penuh kesantunan. Ia juga membandingkannya dengan dinamika konstitusional di Indonesia, termasuk kompleksitas perubahan UUD NRI 1945 dan peran Mahkamah Konstitusi.
Tak hanya itu, Isharyanto memberikan pandangan tajam terkait amandemen UUD NRI 1945 dan dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya untuk memahami konteks historis dan kebahasaan dalam menafsirkan pasal-pasal konstitusi.
Pada kesempatan yang sama, seorang akademisi hukum tata negara, Adriana Grahani Firdausy menyoroti tiga lensa utama dalam buku tersebut. Hal ini antara lain, politik luar negeri dan identitas nasional Jepang, konstitusionalisme global, dan mekanisme amandemen yang sangat ketat.
"Buku ini sangat relevan, tidak hanya bagi pembelajar hukum, tapi juga bagi siapa pun yang tertarik memahami bagaimana sebuah konstitusi bisa begitu kuat menolak perang, seperti Pasal 9 Jepang," ungkap Adriana
Ia mengatakan meskipun Jepang mempertahankan pasifisme, realitas geopolitik dan ancaman keamanan siber saat ini bisa menjadi momentum baru untuk mempertimbangkan perubahan konstitusi.
"Serangan tidak lagi dalam bentuk fisik. Ancaman siber justru lebih nyata dan bisa menjadi alasan konstitusional untuk memperkuat perlindungan warga negara," tambahnya
Namun demikian, Andriana menyebut resensi juga mencatat beberapa catatan kritis terhadap buku tersebut, seperti minimnya perspektif masyarakat sipil Jepang serta dominasi referensi akademik Barat.
Sebagai informasi, acara ini turut dihadiri oleh Anggota DPRD Surakarta dari Fraksi Partai Gerindra, Yanuar Sindhu Riyanto, Kepala Biro Humas dan Sistem Informasi, Anies Mayangsari Muninggar, Pustakawan Madya, Yusniar, Dekan Sekolah Vokasi, Prof. Herman Saputro.
Selain itu juga datang Wakil Dekan Bidang Non Akademik, Dr. Trisninik Ratih Wulandari, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Sekolah Vokasi, Dr. Sumardiyono, Dr. Itok Dwi Kurniawan, dan mahasiswa Universitas Sebelas Maret.
(ega/ega)