loading...
Industri baja dalam negeri tengah menghadapi tekanan akibat membanjirnya produk impor. FOTO/dok.SindoNews
JAKARTA - Industri baja dalam negeri tengah menghadapi tekanan keras akibat membanjirnya produk impor. Menanggapi hal ini, pemerintah justru memilih untuk membuka keran investasi asing yang berminat membangun pabrik di dalam negeri.
Seperti yang diungkapkan Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza bahwa pihaknya mengaku telah kedatangan sejumlah investor dari Eropa, China, dan Vietnam yang berminat merelokasi pabrik bajanya ke Indonesia. "Kami minta supaya mereka berinvestasi di Indonesia, bangun pabrik di Indonesia, sehingga mereka juga punya akses ke pasar domestik," kata Faisol usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, Jakarta, dikutip Rabu (12/11/2025).
Namun, dari kalangan pengusaha dalam negeri, muncul suara kritis. CEO PT Inerco Global International, Hendrik Kawilarang Luntungan, menyatakan bahwa langkah pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada menarik investor asing, tetapi lebih kepada menciptakan pengusaha-pengusaha baru yang fokus pada industri manufaktur.
"Harusnya pemerintah menciptakan pengusaha-pengusaha baru dengan bimbingan pemerintah, seperti yang tercipta di China, Jepang, dan Korea. Mereka maju industri manufakturnya karena pemerintah terjun langsung membimbing agar menyesuaikan dengan target pemerintah menjadikan Indonesia negara industri dalam 10 tahun ke depan," ujar Hendrik.
Baca Juga: Dirjen Migas Beri Kode Kuota Impor BBM SPBU Swasta Tambah Besar Tahun Depan
Menurutnya, akar masalahnya juga terletak pada sistem penyaluran kredit perbankan. "Permasalahan kita saat ini dikarenakan penyaluran kredit dari bank-bank besar hanya diberikan kepada pengusaha besar ataupun titipan-titipan politisi. Akibatnya tidak ada pemerataan, tidak lahir para pengusaha baru. Kebijakan ini membuat orang kaya makin kaya dan orang miskin dan menengah akan mustahil masuk ke dalam kategori orang kaya," tegasnya.
Hendrik menekankan bahwa untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, Indonesia membutuhkan konglomerasi-konglomerasi baru di luar yang sudah ada. "Capek saja kita lihat ada mall baru atau hotel baru atau real estate baru, kalau kita tanya punya siapa, selalu jawabannya dia lagi, dia lagi. Ini fakta," sindirnya.


















































