Sidang dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor) diwarnai momen haru. Ketua majelis hakim yang mengadili, Effendi, mengaku sedih karena terdakwanya sendiri adalah teman-temannya.
Persidangan digelar dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025). Lima terdakwa dalam sidang ini ialah mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, serta mantan panitera muda pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Effendi mengaku persidangan kali ini berat untuk dijalaninya. Effendi mengaku mengenal Arif dan Agam secara pribadi dan bahkan menceritakan momen kebersamaannya saat merintis karier menjadi hakim.
"Saudara Arif ya, ini juga sekaligus untuk Saudara Agam ini. Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang berat buat saya," kata Effendi.
"Secara personal saya kenal dengan Saudara berdua. Saudara Arif, kita sama-sama tugas di Riau, Saudara Ketua Pekanbaru, saya Ketua PN Dumai. Saudara Agam, kita sama-sama merintis karier sebagai hakim. Tahun 1996, SK kita sebagai cakim, 1999 kita masuk diklat di Cinere, Gandul, sekarang menjadi Pusdik kita masih di bawah Departemen Kehakiman pada waktu itu," tambahnya.
Dia mengatakan persidangan ini merupakan persidangan yang paling berat baginya. Dia mengaku tak ingin bertemu dengan Arif dkk dalam suasana sebagai majelis dan terdakwa di persidangan.
"Hari ini, bukan hari ini ya, di persidangan ini, kita ketemu. Jujur, suasana yang sebetulnya tidak saya inginkan dan jujur, secara manusia biasa, saya emosional terhadap persidangan ini," ujar Effendi sambil menangis.
"Inilah beban perkara yang paling berat yang pernah saya alami, saya menyidangkan teman-teman saya," tambahnya.
Lalu, Effendi mengaku tak terlalu akrab mengenal Djuyamto secara personal. Namun dia menyoroti track record Djuyamto sebagai anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan memperjuangkan kenaikan gaji hakim.
Effendi menanyakan alasan para terdakwa menerima suap perkara migor ini. Dia kembali menangis karena tetap harus mengemban tugas mengadili teman-temannya.
"Seluruh angkatan kita menengok ke kita sekarang. Mungkin saya akan dihujat, kan begitu ya, Saudara teman saya. Tapi tugas negara ini harus saya emban," ujar Effendi sambil terisak.
Terdakwa Nangis karena Anak Tak Mau Bertemu
Tak hanya itu, eks panitera muda pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan juga menangis di persidangan. Wahyu menangis saat menceritakan anak pertamanya tak mau menemuinya hingga sekarang.
Wahyu lalu menceritakan tentang tempat kelahiran dan kedua orang tuanya. Wahyu langsung menangis saat mulai menceritakan tentang anak pertamanya yang tak mau menemuinya sejak awal penahanan hingga sekarang.
"Saya sudah menikah, memiliki istri dan 4 orang anak. Anak pertama saya berusia 12 tahun," kata Wahyu dengan suara terjeda dan terisak.
"Masih bisa nggak ini?" timpal hakim.
"Bisa, Yang Mulia. Anak pertama saya berusia 12 tahun. Saat ini kelas 2 SMP. Sejak awal (saya) ditahan sampai saat ini, tidak mau menemui saya," jawab Wahyu sambil terisak.
Wahyu lalu menceritakan usia empat anaknya. Dia mengatakan anak pertamanya berusia 12 tahun dan anak bungsunya berusia 1 tahun.
"Yang pertama umur?" tanya hakim.
"12 tahun, perempuan," jawab Wahyu.
"Yang nomor 2?" tanya hakim.
"Usia 7 tahun kelas 1 SD, laki-laki," jawab Wahyu.
"Nomor 3?" tanya hakim.
"Laki-laki usia 2 tahun, yang keempat laki-laki usia 1 tahun," jawab Wahyu.
Alasan Hakim Terdakwa Terima Suap
Para hakim ditanya mengapa menerima suap dari terdakwa. Hakim awalnya bertanya ke trio pengadil perkara minyak goreng, yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
"Jadi ganti-gantilah, kenapa ini kok bisa terjadi? Nah, mungkin, kasih dulu Agam. Bagi saya tiga-tiganya sekaligus saja. Saudara Agam gimana ini?" tanya ketua majelis hakim Effendi sambil menangis.
Agam kemudian menjawab. Agam mengaku tak pernah melihat uang sebanyak yang ditawarkan oleh pihak terdakwa. Sebagai informasi, Agam didakwa menerima suap Rp 6,2 miliar.
"Kenapa saya mau melakukan ini? Sama seperti yang saya katakan kemarin, saat saya menjadi saksi. Seumur hidup saya belum pernah melihat uang sebanyak ini, jadi saya tergiur dengan uang ini, saya ambil. Itu saja, itu hal sederhana yang uang ini, ya artinya saya ingin beli sesuatu, cuma ya terus terang saya melakukan cara yang salah untuk keluarga saya. Itu yang saya sesali," ujar Agam.
Berikutnya, hakim Ali Muhtarom mengaku menerima suap vonis lepas perkara migor karena faktor kebersamaan. Dia didakwa menerima Rp 6,2 miliar.
"Jadi terkait yang saya terima, Yang Mulia, betul saya menerima tetapi yang saya terima lebih cenderung saya kepada kebersamaan, Yang Mulia. Saya ikut menerima karena juga kemarin tepat di persidangan, walaupun mungkin Pak Djuy menyangkal atau tidak mengingat itu, karena juga saya juga sempat menanyakan kepada Pak Djuy, ini uang apa, terima saja, ini aman kok. Sehingga di dalam pikiran saya, saya hanya pada kebersamaan, Yang Mulia, tetapi dalam hal ini saya juga mengakui bahwa itu salah dan saya mohon maaf, Yang Mulia," jawab Ali.
Setelah itu, hakim Djuyamto menangis saat menjawab pertanyaan. Dia mengaku dirinyalah yang menghancurkan kariernya sendiri. Djuyamto didakwa menerima duit Rp 9,5 miliar.
"Sayalah yang menghancurkan karier saya sendiri, saya tidak menyalahkan siapa-siapa, saya bertanggung jawab atas semua kesalahan yang saya lakukan, dan saya siap menjalani hukuman. Bagi saya, saya menyadari hukuman itu, saya ibaratkan saya mandi besar, mandi wajib setelah saya menyadari di tubuh saya ada najis," ujarnya sambil menangis.
Djuyamto mengaku bersalah telah menerima suap dan mengabaikan imbauan pimpinannya. Dia mengaku akan bertanggung jawab.
Saksikan Live DetikPagi :
(azh/azh)