loading...
Salim, Ketua Dewan Pakar KPPMPI dan Kandidat Doktor Universitas Airlangga. Foto/istimewa
Salim
Ketua Dewan Pakar KPPMPI dan Kandidat Doktor Universitas Airlangga
DI tengah tantangan global yang semakin kompleks dan dinamis, pengembangan Indonesia Maritime Policy yang komprehensif akan menjadikan kebijakan pemerintah yang sangat penting untuk memastikan kelangsungan hajat hidup dan keberlanjutan kemajuan bangsa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ribuan pulau yang berserakan baik besar maupun kecil, berpenghuni maupun tidak, semuanya memiliki potensi maritim yang luar biasa dan memiliki kebermanfaatan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat pemerintah sedang memikirkan untuk membeli kapal Induk Heli, Tuhan Semesta alam menjawab dengan bencana besar. Bayangkan kalau kita saat ini telah memiliki beberapa Helly Deck Carrier, Berapa banyak nyawa yang bisa kita selamatkan dengan Civic Mission Operation, Humanitarian Asisstance and Dissaster Relief. Dengan mendeploy bantuan Search and Rescue yang ada didalamnya serta unit unit bantuan kemanusian dengan mengerahkan secepatnya bantuan ke lokasi bencana.
Saat ini kita hanya bisa terseok seok memasuki pedalaman bencana meski sudah bergerak, namun hanya beberapa alut sista yang bisa menembus warga terdampak. Inilah salah satu cerita sebuah negeri kepulauan terbesar di dunia namun masih memiliki visi kontinental, memiliki konsepsi wawasan nusantara namun hanya jargon belaka.
Cukuplah seharusnya menjadi sandaran ketika kejayaan dua Kerajaan Sriwijaya pada abad Ke-7 dan Majapahit abad Ke 8 dikaitkan dengan teori AT.Mahan tentang bagaimana membentuk kekuatan maritim di era saat ini. Kedua kerajaan ini menonjolkan pentingnya kekuatan angkatan laut dan penguasaan jalur perdagangan sebagai fondasi dari kekuasaan dan kejayaan mereka.
Dengan pengaruh Politik yang kuat Sriwijaya, dikenal sebagai pusat perdagangan maritim yang menghubungkan berbagai kawasan di Asia Tenggara. Dukungan angkatan laut yang kuat memungkinkan Sriwijaya untuk mengontrol jalur perdagangan, berinteraksi dengan berbagai negara, dan memperluas pengaruh politiknya. Ini sejalan dengan argumen Mahan bahwa kekuatan maritim menentukan dominasi suatu bangsa.
Sama halnya, Majapahit pada masa kejayaannya dengan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara dalam Buku Negarakertagama juga menunjukkan bagaimana penguasaan laut dan jalur perdagangan berkontribusi pada kemakmuran. Melalui pelabuhan-pelabuhan yang didirikan, Majapahit mampu mengolah sumber daya lokal dan memperdagangkannya secara internasional. Pendekatan ini mencerminkan ide Mahan terkait dengan pentingnya kontrol atas perairan dalam menjaga dan memperkuat kekuasaan.
Kedua kerajaan tersebut juga memanfaatkan diplomasi maritim untuk membangun aliansi dan hubungan baik dengan negara lain. Melalui perdagangan dan pertukaran budaya, mereka tidak hanya mengamankan kekayaan, tetapi juga meningkatkan status politik mereka. Mahan menekankan bahwa kekuatan maritim tak hanya berdasarkan militer, tetapi juga diplomasi yang berjalan seiring dengan penguasaan laut.
Sriwijaya dan Majapahit meninggalkan warisan budaya yang memperkuat identitas maritim Indonesia. Nilai-nilai budaya tersebut, meskipun telah berkembang dalam konteks modern, dapat dilihat dalam pemikiran bangsa untuk kembali ke identitas maritim. Ini mencerminkan pemahaman Mahan bahwa sejarah dan warisan maritim mempengaruhi kondisi sosial dan politik. Konsep Blue Economy yang mengedepankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan dapat dilihat sebagai kelanjutan dari pemikiran raja-raja maritim terdahulu.
Kekuatan mereka pada masa lalu menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya laut yang bijaksana dapat menghasilkan kemakmuran jangka panjang. Strategi ini tidak hanya relevan untuk aspek ekonomi, tetapi juga bagi stabilitas sosial dan lingkungan, mencerminkan pentingnya perpaduan yang holistik sering kali dinyatakan dalam teori maritim modern.


















































