OPINI - Pertemuan antara Bupati Barru, Andi Ina Kartika Sari, dengan Kepala BPJS Kesehatan Cabang Parepare yang baru, dr. Muhammad Ali, di Rumah Jabatan Bupati Barru, baru-baru ini dihadiri oleh barisan lengkap kepala dinas terkait Dinsos, Dinkes, dan Dukcapil.
Kehadiran formasi penting ini seharusnya menjadi jaminan munculnya terobosan konkret. Namun, laporan mengenai audiensi tersebut justru menunjukkan adanya masalah akut yang masih diulang dan komitmen yang terlalu generik.
1. Masalah Klasik: Akurasi Data yang Berulang
Pernyataan Bupati yang berharap data kepesertaan BPJS selalu diperbaharui secara berkala adalah kritik tajam terselubung terhadap kinerja sistem data yang sudah berjalan.
Di era serba digital, pembaruan data yang berkala semestinya sudah otomatis dan real-time. Kehadiran Kepala Dinsos dan Dukcapil seharusnya tidak hanya mendengar harapan ini, tetapi langsung menyepakati Pakta Integritas Sinkronisasi Data Cepat.
Tanpa data yang akurat seketika, janji untuk memperkuat kolaborasi hanya akan menjadi retorika hampa. Berapa banyak warga miskin yang jatuh sakit hari ini, namun haknya sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) terhambat karena data mereka masih stuck dan belum diperbarui?
2. Kritik Batasan Kaku Decil 5: Mengabaikan Warga Rentan
Kritik utama diarahkan pada penekanan Bupati bahwa peserta PBI yang ditanggung pemerintah dibatasi secara ketat pada kategori decil 1–5, sementara decil 6 ke atas didorong untuk mandiri.
Untuk dipahami, Decil (Desil) adalah istilah statistik yang digunakan untuk membagi populasi menjadi sepuluh kelompok (10%) berdasarkan tingkat kesejahteraan atau pendapatan, di mana:
Decil 1 - 5 : Sangat Miskin hingga Rentan Menengah Bawah.
Target Utama PBI: Kelompok ini menjadi prioritas mutlak untuk ditanggung iurannya oleh pemerintah (PBI).
Decil 6 : Menengah Bawah/Pekerja Rentan (Zona Abu-Abu): Kelompok ini berada tepat di atas batas penerima PBI dan secara aturan didorong untuk mandiri.
Secara aturan, pembatasan Decil 1-5 sebagai penerima PBI adalah sah. Namun, penegasan kaku ini, tanpa didampingi solusi, menunjukkan pengabaian terhadap warga di zona abu-abu tersebut.
Warga di Decil 6 adalah pekerja rentan yang penghasilannya tidak stabil. Bagi mereka, iuran mandiri adalah beban berat yang seringkali memaksa mereka keluar dari kepesertaan.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab moral dan diskresi APBD untuk menambal celah perlindungan ini.
Komitmen kesehatan seharusnya melampaui batasan Decil yang kaku, dengan mencari skema pendanaan untuk melindungi warga rentan yang berpotensi jatuh miskin akibat biaya kesehatan.
3. Efektivitas Pertemuan Setingkat Bupati
Mengapa pertemuan dengan pejabat setinggi Bupati dan melibatkan empat kepala dinas kunci hanya menghasilkan harapan dan penegasan ulang aturan Decil 1-5? Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas koordinasi di tingkat teknis.
Jika masalah sinkronisasi data dan pelayanan masih harus dibahas di level bupati, itu menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam koordinasi harian antara Kepala Dinas dengan Kepala BPJS Barru. Tim yang begitu lengkap seharusnya menghasilkan:
- Keputusan timeline pasti untuk cleansing data.
- Target terukur peningkatan cakupan PBI.
- Rencana dana cadangan APBD untuk kelompok rentan (Decil 6/7).
Pada akhirnya, masyarakat Barru menunggu bukti nyata bahwa kolaborasi ini akan menjamin kepastian kesehatan mereka, bukan sekadar sebuah foto silaturahmi yang dihadiri banyak pejabat penting, tetapi minim solusi konkret.
Barru, 14 Desember 2025
Penulis : Ahkam (Jurnalis Warta.co.id)


















































