loading...
Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi
Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belajar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 boleh dikatakan sebagai kebijakan yang (cenderung) kontroversial. Penghematan anggaran sebesar Rp 306,7 triliun ternyata diperuntukkan membiayai berbagai program utama seperti makan bergizi gratis (MBG) dan pemeriksaan kesehatan gratis, dan membayar utang pemerintah yang jatuh tempo dan bunga pokok utang pada 2025.
Menarik, Pemerintah melakukan rekonstruksi anggaran sebagai pengganti istilah efisiensi anggaran tidak lama setelah dikeluarkan Inpres tersebut. Kemungkinan ini karena masih terdapat pertimbangan khusus yang terlupakan dan belum masuk ketika keputusan awal efisiensi anggaran tersebut ditetapkan. Hal ini dapat terkait dengan program-program yang sedang berjalan atau yang tidak mungkin dipangkas langsung karena adanya dampak negatif. Namun, rekonstruksi tersebut tampaknya (cenderung) dipicu akibat munculnya keluhan atau ketidaksetujuan dari berbagai lapisan dan masyarakat. Maknanya Pemerintah segera mengantisipasi akibat adanya dinamika perubahan dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat (Widodo, 2007).
(Kebijakan) rekonstruksi tersebut menyebabkan perubahan terhadap alokasi anggaran bagi Kementerian/Lembaga terkait. Misalnya pada kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah. Setelah pemerintah melakukan rekonstruksi sebagai pengganti istilah efisiensi, kementerian ini mendapatkan “tambahan” dana. Tetapi tambahan dana itu hanya merupakan pengurangan jumlah pemangkasan anggaran di kementerian ini. Prinsip nya adalah Pemerintah tetap memangkas anggaran kementerian.
Di awal pemangkasan atau efisiensi sebesar Rp 8,03 triliun dari alokasi anggaran kementerian ini sebesar Rp 33,55 triliun. Tetapi total anggaran kementerian ini bertambah karena adanya kebijakan rekonstruksi terhadap keputusan pemangkasan anggaran tersebut yaitu yang dipangkas berubah menjadi Rp 7,27 triliun. Apakah pemangkasan tersebut dapat berdampak terhadap rencana-rencana kebijakan strategis dan perubahan kebijakan yang sudah dicanangkan menteri yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah? Apalagi kebijakan baru yang akan diluncurkan akan mengembalikan proses pendidikan yang sesuai dengan jiwa pendidikan bermutu untuk semua.
Urgensi Sektor Pendidikan
Suka atau tidak suka, sektor pendidikan memiliki peran yang sangat kritis sebagai fondasi untuk pengembangan sumber daya manusia suatu bangsa. Penyesuaian dan adaptasi dalam sektor pendidikan menjadi tidak terelakkan dengan adanya dinamika perubahan yang secara konsisten dan kesinambungan terjadi. Pada era globalisasi dan abad ke-21, beberapa ahli mengungkapkan peran pedagogi kritis terhadap perubahan global akan melahirkan berbagai masalah krusial di dalam pendidikan. Peran pendidikan sangat strategis dalam pengenalan nilai-nilai budaya sesuai dengan tuntutan zaman (Widja, 2009; Tilaar, 2011:38-39; dan Nuryatno, 2008:2).
Dalam konteks politik pendidikan, Sirozi (2007: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan dalam batas-batas tertentu tidak lepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Karena dimensi politis yang disebutkan di atas, sekolah akan selalu berada pada posisi perjuangan politis dalam hal nilai-nilai, tentang siapa yang diuntungkan dari sebuah kebijakan pemerintah. Posisi sekolah menjadi arena pertarungan kepentingan di antara kelompok-kelompok status masyarakat, dan sekolah menjadi sarana seleksi menjadi kelompok dominan berkuasa di masyarakat (Widja, 2009:107-108).
Dalam konteks pendidikan kritis yang dipelopori oleh Paulo Freire (2005), permasalahan pendidikan terkait dengan situasi sosial-budaya masyarakat yang mengalami perubahan, mengungkung, tidak mencerdaskan, dan menimbulkan ketidakadilan. Prinsip utama pedagogi kritis ini yaitu melihat proses pendidikan tidak terisolasi dari kehidupan sosial. Visi pendidikan kritis didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, dan politik dan dalam kerangka relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan dan ideologi yang berpengaruh pada institusi pendidikan dan subjektifitas peserta didik.
Secara teoretis, kebijakan pendidikan seringkali digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan politik tertentu, seperti pembentukan identitas nasional, stabilitas sosial, atau untuk memperkuat kekuasaan politik. Yang juga menarik adalah perubahan politik (seperti pergantian pemerintahan) dapat mempengaruhi arah dan fokus kebijakan pendidikan. Faktor politik memainkan peran besar dalam penyusunan kebijakan pendidikan, terutama dalam konteks negara dengan sistem pemerintahan yang sangat terpusat atau di mana pendidikan menjadi alat penting untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Contoh konkrit terjadi di Amerika Serikat. Pergeseran politik antara partai-partai politik memengaruhi kebijakan pendidikan yang diterapkan. Misalnya, kebijakan "No Child Left Behind" (2001) yang dicanangkan oleh Presiden George W. Bush berfokus pada peningkatan standar pendidikan melalui tes standar. Pada era Presiden Barack Obama maka ditetapkan kebijakan baru seperti Every Student Succeeds Act (ESSA) (2015). Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan kontrol lebih besar pada negara bagian dan sekolah untuk menentukan bagaimana mereka meningkatkan pendidikan.
Kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah telah mencanangkan beberapa kebijakan baru yang sangat krusial. Kebijakan-kebijakan tersebut merujuk kepada Asta Cita. Rekonstruksi anggaran baik langsung atau tidak langsung akan menyebabkan sejumlah perubahan dalam perencanaan yang sudah ditetapkan kementerian ini. Kebijakan-kebijakan baru kementerian ini sudah dipastikan memiliki keberpihakan bagi kemaslahatan publik atau orang banyak. Tentunya perlu dipastikan bahwa kebijakan-kebijakan baru yang dicanangkan kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah ini dapat terwujud. Hal ini penting karena kebijakan baru tersebut sudah dipastikan kemanfaatannya secara seksama. Kebijakan-kebijakan baru tersebut bukan merupakan keinginan dan kehendak kaum elit, tetapi didasarkan atas aspirasi masyarakat yang terserap didalamnya (Wibawa, 2011:17).
Kebijakan-kebijakan baru pendidikan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai faktor yang saling terkait. Faktor tersebut baik dari sisi internal (faktor sosial, ekonomi, politik, budaya) maupun eksternal (pengaruh global, teknologi, tren internasional). Pertimbangan faktor tersebut dikaitkan dengan karakteristik bangsa Indonesia, dan kebijakan tersebut memiliki kaitan yang erat dengan teori-teori tertentu.
(wur)