Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan pemerintah berancang-ancang merevisi UU Pemilu. Ahli hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, memberikan sejumlah saran kepada pemerintah dalam menyusun revisi UU Pemilu.
"(Pertama) menyusun desain sistem pemilu yang lebih adil dan representatif. Selama ini sistem proporsional daftar terbuka rawan melahirkan politik uang, persaingan internal yang tidak sehat, dan seleksi kandidat yang elitis. Perlu dipikirkan opsi sistem campuran (mixed system) sebagai jalan tengah untuk memperkuat representasi partai sekaligus memperbaiki kualitas personal wakil rakyat," ujar Titi kepada wartawan, Minggu (7/9/2025).
Kedua, pemerintah diminta memastikan regulasi pembiayaan politik yang transparan, efektif, dan dapat diawasi dengan baik. Menurutnya, setiap revisi UU Pemilu harus menghadirkan aturan yang lebih tegas dan sistem pengawasan yang lebih efektif terkait dana kampanye.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, perlu adanya perkuatan kelembagaan penyelenggara dan penegakan hukum pemilu. Revisi UU Pemilu, kata Titi, harus menjamin independensi, akuntabilitas, dan profesionalitas KPU, Bawaslu, hingga DKPP serta menutup ruang bagi intervensi partisan. Pemerintah, lanjutnya, harus berkomitmen menghadirkan proses seleksi yang betul-betul berorientasi menghadirkan penyelenggara pemilu yang profesional, kredibel, dan kompeten.
Keempat, revisi UU Pemilu harus menjawab kebutuhan kesetaraan dan inklusi politik. Aturan afirmasi keterwakilan perempuan, kelompok disabilitas, dan minoritas perlu dipertegas. Hal ini, jelas Titi, penting untuk memastikan pemilu benar-benar substantif.
"(Kelima) mengantisipasi tantangan digitalisasi pemilu. Mulai dari transparansi sistem rekapitulasi elektronik, pengendalian hoaks dan disinformasi, hingga pemanfaatan teknologi untuk pendidikan pemilih," imbuh Titi.
"Semestinya SIREKAP bisa mulai digunakan secara gradual sebagai mekanisme formal untuk rekapitulasi suara di pemilu sehingga bisa mencegah kecurangan yang terjadi dalam penghitungan suara secara manual berjenjang yang makan waktu lama dan mahal," lanjutnya.
Terakhir, revisi UU Pemilu harus menjamin proses legislasi yang terbuka, transparan, dan partisipatif. Proses revisi UU Pemilu tidak boleh dilakukan secara tertutup dan elitis. Pemerintah dan DPR perlu membuka ruang konsultasi publik yang bermakna dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, penyelenggara pemilu, partai politik nonparlemen, dan kelompok rentan.
"Revisi UU Pemilu jangan hanya dipandang sebatas penyesuaian teknis pasca putusan MK. Ini momentum untuk melakukan reformasi menyeluruh, agar Pemilu 2029 tidak lagi terjebak dalam masalah klasik berupa praktik politik transaksional, orientasi pada calon bermodal besar dan selebritas semata, serta lemahnya akuntabilitas dana politik," imbuh Titi.
Seperti diketahui, Yusril mengungkapkan pemerintah berancang-ancang merevisi UU Pemilu. Perubahan sistem pemilu, kata Yusril, sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Hal-hal yang lain juga perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Kepartaian, itu memang sedang akan kita lakukan, karena sudah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa sistem pemilu kita harus diubah, tidak ada lagi threshold dan lain-lain sebagainya," kata Yusril di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/9).
Yusril mengatakan perubahan sistem pemilu sesuai dengan rencana Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi polisi. Yusril menilai sistem saat ini tak terbuka luas, sorotan muncul kepada orang kaya dan selebritas.
"Pak Presiden pun di awal-awal masa pemerintahan beliau menegaskan bahwa kita perlu melakukan reformasi politik yang seluas-luasnya, supaya partisipasi politik itu terbuka bagi siapa saja, dan tidak hanya orang-orang yang punya uang, tidak saja mereka yang selebriti, artis, yang menjadi politisi, tapi harus membuka kesempatan pada semua," ujarnya.
Tak hanya itu, Yusril menilai revisi UU Pemilu juga menyangkut kritik terhadap kualitas anggota DPR. Sehingga sosok yang kompeten tidak bisa lolos ke parlemen di Senayan.
"Sistem sekarang ini membuat orang yang berbakat politik tidak bisa tampil ke permukaan, sehingga diisi oleh para selebriti, diisi oleh artis, dan kita lihat ada kritik terhadap kualitas anggota DPR sekarang ini, dan pemerintah menyadari hal itu," imbuhnya.
(isa/gbr)