Mewujudkan Damai Positif di Dunia yang Terbelah

10 hours ago 4

loading...

Ridwan al-Makassary, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan pekerja perdamaian di Indonesia. Foto/Istimewa

Ridwan al-Makassary
Dosen di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan pekerja perdamaian di Indonesia

PADA 21 September 2025, dunia merayakan Hari Perdamaian Internasional dalam balutan duka. Dunia masih diamuk perang dan konflik bersenjata, yang mencentang-perenangkan kehidupan di Ukraina, Gaza, Sudan, dan juga pelbagai penjuru dunia lainnya. Selain itu, ketegangan membara di Asia, di mana persaingan antara negara-negara adidaya telah menerbitkan kecemasan di seluruh kawasan.

Sebagai tambahan, perubahan iklim memburuk, dengan konsekuensi banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang mendorong jutaan orang mengungsi dan menabur benih konflik baru atas sumber daya alam yang langka. Akhirnya, di negara-negara yang tidak berperang pun, termasuk Indonesia, dunia menyaksikan polarisasi politik, disinformasi, dan kebencian—sering diperkuat oleh media sosial—telah dan sedang menghancur-lumatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintahan mereka yang otoriter.

Tulisan singkat ini adalah refleksi hari perdamaian internasional tentang absurditas mimpi perdamaian dan realitas yang kita hadapi. Di dunia yang terbelah, kita mungkin mengabaikan Hari Perdamaian Internasional yang acap dirayakan secara simbolis, dan juga tidak relevan. Tapi, karena dunia sedang terluka, maka hari perdamaian internasional penting, yang tidak dirayakan secara naif dari utopia yang belum kita miliki.

Ia adalah jeda (berhenti sejenak) yang disengaja sebagai kesempatan untuk merenungkan, mengatur ulang, dan juga berkomitmen kembali untuk membangun kondisi hadirnya perdamaian. Perdamaian acap didefinisikan sebagai ketiadaan perang dan kekerasan. Ini adalah damai negatif (negative peace), yang diwartakan oleh Johan Galtung. Tetapi, sejarah telah menunjukkan bahwa jeda tersebut tidak menjamin stabilitas.

Perdamaian sejati berarti bahwa orang dapat hidup dengan bermartabat. Ini berarti seorang anak dapat berjalan ke sekolah tanpa takut akan bom atau intimidasi. Seorang ojek atau perempuan akan bekerja tenang tanpa takut begal di malam hari. Seorang ibu tidak berpikir bunuh diri karena bingung menghidupi anak-anaknya yang masih balita.

Lebih jauh, kelompok etnis dan agama minoritas diperlakukan sebagai warga negara yang setara. Juga, sumber daya alam dikelola secara adil, sehingga generasi mendatang dapat mewarisi planet yang layak huni tinimbang planet yang tandus. Sekali lagi, perdamaian bukan hanya tidak adanya perang dan kekerasan.

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |