loading...
Ridwan al-Makassary, Dosen di Fakultas Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Direktur Center of Muslim Politic and World Society (COMPOSE) UIII. Foto/Dok.SindoNews
Ridwan al-Makassary
Dosen di Fakultas Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Direktur Center of Muslim Politic and World Society (COMPOSE) UIII
NEPAL yang dikenal sebagai atap dunia, sedang terbakar dan menjadi abu. Sepanjang sejarahnya, Republik Himalaya itu akrab dengan pergolakan, dari penghancuran monarki yang tragis, gempa bumi yang meluluhlantakkan, blokade ekonomi yang menyengsarakan hingga pemerintahan koalisi yang rapuh.
Dengan kata lain, Nepal adalah satu negara yang hidup melalui gelombang demi gelombang krisis yang tak berkesudahan. Namun, apa yang terjadi pada September 2025, belum pernah terjadi sebelumnya, adalah letusan gunung “kemarahan” Himalaya yang meluluhlantakkan tembok-tembok kekuasaan negara yang kokoh.
Para demonstran, Gen Z menyerbu jalan-jalan, membakar gedung parlemen, memaksa pengunduran diri Perdana Menteri, K.P. Sharma Oli. Sebagai satu akibat, belasan orang meregang nyawa dan harta benda yang ludes terbakar. Singkatnya, krisis Nepal telah telah menggemparkan dunia.
Tulisan ini menjelaskan mengapa krisis Nepal terjadi dan apa yang bisa dipelajari dari krisis tersebut. Krisis Nepal berawal dari sebuah pelarangan. Pada 4 September 2025, pemerintah Nepal melarang beroperasinya 26 platform media sosial, misalnya WhatsApp, Facebook, Instagram, Tik Tok dan YouTube, untuk menyebut beberapa.
Dalih pelarangan adalah mengekang penyebaran informasi yang salah. Namun, dalam hitungan hari, anak-anak sekolah, mahasiswa, dan pekerja muda, yang disebut Gen Z, menyemuti jalan-jalan Kathmandu. Di Maitighar Mandala mereka menyuarakan dengan lantang “Hentikan korupsi, bukan media sosial!”. Gen Z membingkai pengekangan tersebut sebagai sebuah tindakan untuk membungkam perbedaan.
Gen Z membela bahwa ruang digital bukanlah kemewahan. Ia adalah udara yang mereka hirup. Melarangnya berarti membungkam suara, jaringan dan identitas mereka. Alih-alih, larangan sosial media yang dimaksudkan untuk membungkam para kritikus, malah ia mengobarkan bara api perlawanan.
Pelajaran ini bersifat universal: pemerintah yang dengan sengaja melumpuhkan media sosial sesuka hati mereka akan melahirkan resistensi fisik. Sejarah mewartakan bahwa pajak media sosial di Uganda hingga penutupan internet Iran, dan sekarang larangan media sosial di Nepal, polanya jelas.