Di Forum G20, Wamen LH Desak Kemudahan Akses Dana Iklim Bagi Negara Berkembang

5 hours ago 1
Jakarta -

Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mendorong pendanaan iklim bagi negara berkembang untuk memitigasi dampak dari perubahan iklim. Pendanaan iklim diharapkan bisa diakses dengan mudah tanpa membebani utang.

Hal tersebut diungkap Diaz dalam forum G20 Environment and Climate Sustainability Working Group (ECSWG) Ministerial Meeting 2025 yang diselenggarakan di Cape Town, Afrika Selatan, pada tanggal 16-17 Oktober 2025.

"Indonesia menyerukan agar pendanaan iklim (climate finance) dapat diakses secara mudah oleh semua negara, memiliki risiko rendah, dan tidak menimbulkan beban utang bagi negara-negara berkembang," ujar Diaz, dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diaz menyampaikan bahwa untuk mencapai target-target iklim yang telah dikomitmenkan oleh Indonesia ke dunia internasional, diperlukan pendanaan yang cukup signifikan. Dari kebutuhan USD 285 miliar, Indonesia disebutnya baru bisa membiayai 16%.

"Laporan Third Biennial Update Report kami yang telah disampaikan kepada UNFCCC memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar US$285 miliar untuk mencapai Enhanced NDC pada tahun 2030. Namun, anggaran nasional saat ini hanya mampu membiayai sekitar 15-16% dari total kebutuhan pendanaan iklim tersebut," ujarnya.

Untuk menutup kesenjangan pendanaan tersebut, Diaz menekankan pentingnya dukungan dari komunitas internasional, khususnya dorongan bagi negara-negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam membantu negara berkembang.

"Kami menyerukan agar New Collective Quantified Goal (NCQG) dapat segera dioperasionalkan dengan memprioritaskan instrumen yang tidak menimbulkan utang, dukungan terhadap prinsip loss and damage, serta alokasi yang adil bagi negara-negara kepulauan kecil (Small Island Developing States/SIDS) dan negara-negara kurang berkembang (Least Developed Countries/LDCs)," ujarnya.

Isu pendanaan ini menurutnya menjadi penting, mengingat dampak dari perubahan iklim yang semakin terasa. Diaz mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi tiga krisis planet utama yakni perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati dan Indonesia sangat terdampak oleh ancaman tersebut.

"Banyak dari 17.000 pulau yang dimiliki Indonesia diperkirakan akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang. Satu-satunya gletser tropis yang berada di Pegunungan Jayawijaya, Provinsi Papua, telah menyusut secara signifikan, dan diperkirakan akan lenyap dalam waktu dekat," ujarnya.

Lebih lanjut, Diaz mengatakan bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% tanpa syarat dan 43,2% dengan dukungan internasional dan tengah berupaya untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

"Tahun lalu di Rio, Brasil, Presiden Prabowo, telah meningkatkan ambisi tersebut dengan menargetkan pencapaian net zero emission pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target sebelumnya," ucapnya.

Selain itu, Diaz juga mendukung pengakuan G20 bahwa bahan kimia berbahaya berdampak secara tidak proporsional terhadap negara-negara berkembang, termasuk melalui ekspor lintas batas ilegal.

"Isu ini (bahan kimia dan limbah), sangat penting bagi Indonesia, mengingat hingga saat ini kami masih menghadapi tantangan besar di bidang tersebut," ujarnya.

Forum ini dihadiri oleh delegasi dari negara-negara anggota G20 dengan Afrika Selatan sebagai Presidensi G20 tahun ini. Kegiatan ECSWG dan Ministerial Meeting berlangsung selama lima hari, dari 13 hingga 17 Oktober 2025, yang diawali dengan pembahasan technical papers serta penyusunan draf awal Ministerial Declaration.

(eva/dek)


Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |