Batas Toleransi Kendali Hukum dalam Masyarakat

5 hours ago 2

loading...

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

SAMPAI saat ini tidak ada fakta atau bukti petunjuk bahwa hukum telah mencapai tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan atau sebagaimana dicitakan UUD 1945 , kepastian hukum yang adil. Tidak ada seorang ahli hukum pun, baik dari barat dan timur, yang dapat menyatakan secara pasti parameter keberhasilan hukum sebagai sarana pengendalian masyarakat dalam arti positif; hukum membawa kehidupan masyarakat lebih maju daripada sebelumnya.

Atas dasar alasan tersebut kiranya tepat jika (Alm) Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum berfungsi dinamis, dalam arti hukum selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya; hukum di belahan dunia barat lebih maju ketimbang masyarakat timur karena lebih tinggi peradaban dan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, hukum yang dinamis harus dimaknai bahwa hukum selalu berkelindan dalam kehidupan masyaraktat baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Apabila demikian halnya, hukum tidak berkepastian sehingga sulit diperoleh keadilan. Dalam konteks ini harus dipertimbangkan bahwa kemampuan hukum mengendalikan kehidupan masyarakat harus diukur dari seberapa jauh kehidupan masyarakat memberikan ruang gerak dan kehidupan bagi hukum, dalam arti seberapa tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat; terbatas oleh ruang dan waktu; beda zaman beda karakter hukumnya.

Ruang gerak dan kehidupan masyarakat tergantung dari seberapa kekuatan masyarakat memberikan ruang gerak dan kehidupan bagi hukum yang harus dimaknai bahwa besar tidaknya, luas tidaknya, dan tegaknya hukum sangat ditentukan oleh (tingkat kesadaran hukum) masyarakat. Kemampuan masyarakat memberikan tempat dan ruang gerak kehidupan bagi hukum berkorelasi dengan sistem hukum dan sistem peradilan yang dikuasai oleh negara. Dalam negara otoritarian, dipastikan ruang gerak dan kehidupan hukum tergantung dari kepentingan pemegang kekuasaan, sedangkan di negara demokrasi tergantung dari suara keadilan masyarakat terbanyak.

Baca Juga: Memperjelas Arah Pendidikan Hukum di Negara Hukum

Di antara dua pilihan sistem hukum bernegara itu, maka abad ke 20-21 adalah abad negara demokrasi, yakni kedudukan manusia sederajat (tidak sama) dan keadilan yang diperoleh sesuai dengan hasil karya manusia berbeda-beda tiap individu. Oleh karena itu, pengertian kepastian hukum yang adil harus dimaknai kepastian hukum sesuai dengan hasil karya manusia per individu, tidak harus sama rata. Sesungguhnya batas keadilan pada umumnya dikembalikan pada tiap individu dan batas keadilan hukum bukan hanya ditentukan dan dipastikan bergantung dari hakim, melainkan juga bergantung pada perasaan (keadilan) menurut tiap individu yang terlibat di dalamnya, sehingga akan selalu terdapat prediksi bahwa keadilan tertinggi itu adalah ketidakadilan tertinggi pula.

Dalam konteks inilah sulit bagi kita untuk mengukur batas adil tidaknya suatu putusan pengadilan sehingga dapat dikatakan masalah keadilan yang diberikan putusan suatu pengadilan adalah merupakan lingkaran keputusasaan yang tidak berakhir dalam sejarah peradilan. Sekalipun putusan terakhir dan bersifat final adalah putusan Mahkamah Agung (MA) dalam hal perkara Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa, akan tetapi jika masih dibuka celah hukum untuk peradilan keempat, setiap orang berperkara yang mengalami kekalahan akan tetap mengajukannya kembali.

Batas akhir toleransi individu terhadap keadilan di muka hukum tidak akan berakhir sampai pencari keadilan itu meninggal dunia. Jika demikan keadaannya, pertanyaan yang timbul adalah, apakah fungsi, peranan, dan manfaat keberadaan hukum di tengah kehidupan manusia? Sebatas pengetahuan manusia ahli hukum, fungsi dan peranan hukum adalah membawa dan menginspirasi peradaban yang lebih maju dari kehidupan manusia sebelumnya (ada hukum) dan menempatkan hukum sebagai tempat yang layak bagi kehidupan manusia. Layak dalam pengertian nyaman, aman, dan damai hidup berdampingan sesamanya sekalipun realita membuktikan keadaan yang kontradiktif. Namun demikian, sejarah bangsa-bangsa dan negara menunjukkan bahwa disebabkan manusia telah bertobat oleh negara otoritarian, dan beralih serta berangan-angan dengan keyakinan bahwa negara demokratis lebih memberikan jaminan perlindungan dan kepastian serta kemanfaatan dan keadilan.

Di tengah perjalanan negara demokrasi pun tidak luput dari masalah baru yang mencederai hukum itu sendiri. Ujung dari akhir pencarian penyebab keadaan dan masalah hukum tidak lain disebabkan oleh manusia itu sendiri, khususnya para pemegang kekuasaan. Bagi hukum, faktor penyebab ini dilematis bagi manusia karena telah terdapat pemeo bahwa hukum tanpa kekuasaan hanya angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum lebih parah, anarki.

Pertanyaannya, apakah hukum harus selamanya dijalankan dengan kekuasaan? Tidakkah mazhab sosiologi hukum menyatakan sejak lama bahwa hukum hidup tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya atau dengan kata lain hukum dapat dijalankan tanpa kekuasaan? Yang dimaksud kekuasaan dalam konteks hukum adalah di dalam negara hukum, hukum hanya disahkan dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang dibentuk dan disahkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa itu, anarki.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batas toleransi hukum dalam pengendalian masyarakat adalah batas pengendalian diri setiap individu yang terlibat atau tidak terlibat langsung dengan persoalan hukum.

(zik)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |