Program MBG Strategis Tekan Stunting Sekaligus Gerakkan Ekonomi Lokal

13 hours ago 4

loading...

Program Makanan Bergizi (MBG) dinilai menjadi langkah strategis dalam mendorong ekonomi lokal. FOTO/dok.SindoNews

JAKARTA - Program Makanan Bergizi (MBG) dinilai menjadi langkah strategis dalam memerangi persoalan gizi buruk yang masih melanda Indonesia. Lebih dari sekadar upaya kesehatan, program ini disebut berpotensi memperkuat kualitas sumber daya manusia (SDM) sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.

Ahli gizi Mochammad Rizal menilai, Indonesia kini menghadapi tantangan gizi kompleks atau triple burden of malnutrition, yakni stunting, anemia, dan obesitas. "Stunting bukan hanya soal tinggi badan, tetapi juga berdampak pada penurunan IQ dan kualitas hidup anak di masa depan. Ini akan berpengaruh pada produktivitas dan potensi ekonomi generasi mendatang," ujarnya dalam pernyataannya, Sabtu (1/11).

Baca Juga: Prabowo Optimistis Target 82,9 Juta Penerima Manfaat MBG Tercapai

Rizal, yang tengah menempuh studi doktoral di Cornell University, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa sasaran utama MBG adalah ibu hamil hingga anak usia dua tahun. Dengan pelaksanaan yang konsisten dan tepat sasaran, program ini diyakini mampu memberi dampak berantai positif. "Dalam jangka pendek, status gizi anak meningkat dan risiko anemia menurun. Dalam jangka panjang, anak-anak yang sehat akan tumbuh menjadi generasi bebas stunting," katanya.

Lebih jauh, Rizal menilai MBG tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi. Penerapan program ini diharapkan mampu menggerakkan rantai pasok pangan lokal, mulai dari petani dan nelayan hingga pelaku usaha katering. “Program ini bisa menjadi penggerak ekonomi lokal karena bahan pangan bergizi sebagian besar disuplai dari produksi dalam negeri,” ujarnya.

Meski demikian, pelaksanaan MBG di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kebiasaan anak mengonsumsi makanan ultra olahan atau ultra processed food (UPF) yang menyebabkan menu bergizi kerap tidak dihabiskan. “Diperlukan pendekatan bertahap agar anak terbiasa mengonsumsi makanan sehat tanpa mengalihkan tujuan program,” tutur Rizal.

Kendala lain terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia dan pengawasan kualitas pangan. Menurut Rizal, rasio satu ahli gizi untuk 3.000 hingga 4.000 porsi makanan sangat berat, sehingga berisiko menimbulkan persoalan keamanan pangan. “Kabar baiknya, regulasi baru kini membatasi produksi maksimal 2.000 porsi per satuan penyedia pangan. Ini langkah korektif yang patut diapresiasi,” ujarnya menambahkan.

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |