Polemik Masa Penahanan di Draf RKUHAP, Kompolnas: Statusnya Nggak Jelas

12 hours ago 6

loading...

Komisioner Kompolnas Choirul Anam menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power? yang digelar Iwakum di Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025). Foto: Achmad Al Fiqri

JAKARTA - Komisioner Kompolnas Choirul Anam menyoroti draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) mengenai masa penahanan maksimal 60 hari di tingkat penyidikan. Aturan itu membuat status tersangka lama mendapat keadilan.

Hal itu diungkapkan Anam dalam diskusi bertajuk "Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?" yang digelar Iwakum di Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

Menurut dia, aturan di RKUHAP itu tak selaras dengan semangat kecepatan penanganan perkara dan pembuktian.

"Salah satu logika pembuktian adalah pakai teknologi. Nah, teknologi itu ada penyadapan, ada macam-macam, ada bukti elektronik dan sebagainya. Harusnya logika itu mempercepat proses," ujar Anam.

"Nah, ini nggak RKUHAP. Orang ditahan kalau kemarin 20 hari nggak cukup ditambahin 20. Sekarang 20 tambahin 40. 60 hari statusnya nggak jelas. Seram ini 60 hari statusnya nggak jelas," tambahnya.

Diketahui, klausul masa penahanan itu diatur dalam Pasal 94 draf revisi KUHAP. Klausul itu mengatur penahanan pada tahap penyidikan maksimal 60 hari. Berikutnya, Pasal 95 mengatur penahanan oleh penuntut umum maksimal selama 50 hari.

Anam mempertanyakan kewenangan perluasan penyadapan oleh penyidik untuk membuktikan sebuah perkara. Tetapi, semangat perluasan kewenangan itu tak sejalan dengan kecepatan penanganan perkara serta perlindungan hak tersangka.

"Di sisi lain, karakter dasar kecepatan pembuktian tersebut tidak berimbang dengan perlindungan hak tersangka dan sebagainya," katanya.

"Kenapa kok hukumannya kelamaan? Ini dalam semua lini. Nggak hanya di penyidikan sampai di level hakim. Harusnya sudah lah. Kalau dikatakan misalnya video itu, firm misalnya, bukti elektronik ada video, ada CCTV yang firm, ya ngapain kok harus ditahan? Misalnya begitu. Sampai dibuktikan misalnya begitu," ungkap Anam.

Atas dasar itu, mantan Komisioner Komnas HAM ini menilai klausul tersebut tak sejalan dengan perlindungan tersangka seperti kecepatan penanganan perkara.

Dia mengingatkan bahwa pidana itu merampas hak orang. "Ada logika yang menurut saya dalam konteks perkembangan zaman tidak seiring dengan karakter bagaimana perlindungan tersangka dan sebagainya. Nah, salah satunya adalah kecepatan. Sekali lagi, pidana itu merampas orang," ujarnya.

"Ya sekali keserempet ditahan. Sah penahanannya. Tapi, kalau logikanya nggak seiring dengan logika pembuktian dan perkembangan zaman ya jangan," sambungnya.

(jon)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |