Pakar Pidana Setuju Kompol Cosmas Dipecat, Dorong Pidana Disegerakan

4 hours ago 3

Jakarta -

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unbraw) Aan Eko Widiarto mengatakan pemecatan Kompol Cosmas Kaju Gae adalah hal yang kerap dilakukan Polri terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran. Dan dari proses etik tersebut, biasanya dilanjutkan ke proses pidana umum.

"Terkait dengan sanksi terhadap pelanggaran, saya kira polisi juga sering memproses hal demikian, seperti kasus dulu Sambo (Ferdy Sambo, red) kan juga sama. Jadi pertama sanksi etik jalan, dengan etik itu tidak menutup kemungkinan jika ada unsur pidana, akan lanjut ke tindak pidananya diurus," kata Aan kepada wartawan, Kamis (4/9/2025).

Dia pun mendorong Polri menyelidiki ada atau tidak unsur pidana dalam tindakan Cosmas. Diketahui, Cosmas merupakan perwira yang berada dalam rantis Brimob yang melindas pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan saat demo ricuh di Jakarta Pusat (Jakpus) pada Kamis, 28 Agustus lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seharusnya untuk masalah ini, menurut saya, tidak cukup hanya sampai di sidang kode etik kemudian pemecatan. Seharusnya juga secara transparan polisi membeberkan ini ada indikasi pidana atau tidak," ucap Aan.

Komandan Batalyon Resimen IV Korps Brimob Polri Kompol Cosmas Kaju Gae (kiri) berjalan usai mengikuti sidang putusan etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/9/2025) malam. Sidang Komisi Kode Etik Polri memutuskan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Kompol Cosmas Kaju Gae karena dinilai melakukan pelanggaran berat dalam kasus meninggalnya pengemudi ojek daring Affan Kurniawan akibat terlindas rantis Brimob dalam unjuk rasa di Jakarta pada Kamis (28/8). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.Sidang Komisi Kode Etik Polri memutuskan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Kompol Cosmas Kaju Gae karena dinilai melakukan pelanggaran berat dalam kasus meninggalnya pengemudi ojek daring Affan Kurniawan akibat terlindas rantis Brimob dalam unjuk rasa di Jakarta pada Kamis (28/8). (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Aan berpendapat, berdasarkan video dari berbagai sudut yang terekam dan beredar di media sosial, tak ada urgensi rantis Brimob melaju dengan kecepatan tinggi. Dia menyebut situasi berdasarkan rekaman video menunjukkan massa berhamburan.

"Kalau menurut saya, dengan situasi yang ada pada waktu itu dan jelas terekam di dalam kamera medsos yang tersebar, itu kan situasi yang mana massa sebenarnya sudah berhamburan lari. Kemudian dari sisi mobil sendiri, mobil yang kuat dan tidak ada kelihatan diserang mobilnya," ucap Aan.

"Ini kan dalam posisi mobilnya 'lari' di situasi kerumunan, yang seharusnya sudah disadari bahwasanya akan menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain. Karena kelalaiannya itu, sehingga mengakibatkan orang meninggal dunia," lanjut Aan.

Aan mengatakan kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia masuk tindak pidana. "Seperti kasus lalu lintas, dalam undang-undang lalu lintas itu ada kelalaian menyebabkan hilangnya nyawa. Kalau untuk masyarakat umum biasanya ya dikenakan pidana lalu lintas," terang Aan.

Bagi Aan, terjadi eskalasi usai kejadian Affan dilindas rantis Brimob yang ditumpangi Kompol Cosmas dan 6 personel lainnya. Meningkatkan kemarahan publik akhirnya berujung pada penyerangan, perusakan, pembakaran, dan penjarahan.

"Kalau kemudian terjadi penjarahan yang tidak terkendali, itu rentetan juga Ketika aparat sudah melakukan kesalahan. Ini menyebabkan tensi publik naik, dan mentalitas aparat juga turun karena berbuat salah. Saat mental aparat turun dan mental publik naik karena merasa benar, merasa korban dalam hal ini, kendali massa akhirnya tidak dapat dilakukan oleh polisi, yang memang tugasnya mengendalikan massa," jelas Aan.

"Di sinilah membuka peluang terjadinya perbuatan yang melebihi menyatakan pendapat di muka umum. Masyarakat menjadi semakin 'terlegitimasi' untuk melakukan tindakan-tindakan saat aparat tidak bisa bertindak apa-apa karena sudah merasa salah, sudah tidak bisa banyak bergerak," tambah dia.

Lebih lanjut, Aan mendorong diungkapnya kebenaran soal isu dugaan keterlibatan aparat TNI dalam sejumlah aksi anarkis massa. Jika benar dugaan keterlibatan prajurit TNI dalam aksi anarkis, menurutnya hal tersebut sebuah kesalahan karena fungsi intelijen di kerumunan massa adalah untuk mengorek informasi, bukan memprovokasi.

"Soal dalang aksi, ya beberapa tampilan di medsos kan menunjukkan ada KTA dari aparat juga dari TNI, yang ditangkap Brimob, yang berasal dari kesatuan dan bertugas di Bais. Dan kemudian dari Wakil Panglima juga menyatakan bahwa kalau seperti itu mohon tidak disebar, justru menurut saya ini hal blunder karena mempertegas bahwasanya ada peran aparat, peran negara untuk terjadinya kerusuhan kemarin," tutur Aan.

"Memang ada pendekatan intelijen ya, seharusnya intel bisa masuk ke dalam massa aksi, kemudian mengorek informasi. Tapi kalau keterlibatannya sampai provokasi, ini kan mengindikasikan juga terlalu dalam bentuk involved-nya, keikutsertaan di dalam pergerakan massa," pungkas Aan.

(aud/fjp)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |