Jakarta -
Sejumlah anggota DPR menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan pilkada. Reaksi para legislator tersebut dinilai sebagai gambaran putusan MK merugikan mereka.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno. Ia awalnya menilai para politisi di DPR RI memang menyimpan rasa kesal kepada MK.
"Sejumlah politisi Senayan sepertinya sebal dengan MK yang sangat powerful dalam memutus judicial review sejumlah UU. Wajar jika putusan MK kerap dituding offside, melampaui kewenangan, inkonstitusional dan lainnya. Bahkan terlihat politisi Senayan itu sepertinya cemburu dengan MK karena UU yang dibuat DPR dan pemerintah suka dimentahkan oleh MK," kata Adi saat dihubungi, Minggu (6/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Adi menyebut putusan MK soal pemilu dianggap jlimet oleh para legislator. Kemudian, putusan MK kali ini juga dianggap merugikan.
"Putusan MK sepertinya bikin jlimet politisi Senayan dan dalam banyak hal merugikan mereka," tutur dia.
"Jlimet karena begitu banyak UU yang terdampak dari putusan MK itu yang mesti direvisi, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah. Belum selesai follow up terkait dengan putusan MK terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden, kini muncul putusan baru yang mengharuskan revisi banyak UU," lanjut dia.
Lebih jauh, ia menilai para anggota DPR juga kerap tebang pilih terhadap putusan MK. Ia menyinggung putusan MK nomor 90 terkait syarat minimal usia maju capres-cawapres.
"Kadang politisi Senayan itu suka tebang pilih soal putusan MK. Dulu putusan MK nomor 90 soal syarat minimal umur maju calon presiden yang dinilai menabrak etika konstitusi mereka tak ribut-ribut, giliran pemilu nasional dan daerah dipisah ribut-ribut berasa mau kiamat saja. DPR kadang suka tegang pilih sikap. Kalau menguntungkan mereka diam, kalau merugikan kerap protes," jelasnya.
Seperti diketahui, sejumlah anggota DPR menyoroti putusan MK terkait pemilu. Yang paling baru, Wakil Ketua Komisi VI DPR Nurdin Halid.
Ia menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Nurdin menilai MK telah melampaui kewenangannya dan menjadi pembentuk norma baru selain DPR serta pemerintah.
"MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah yang bukan menjadi kewenangan MK," kata Nurdin kepada wartawan, Sabtu (5/7).
"Dalam UUD 1945, kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum," sambungnya.
Nurdin menilai putusan MK tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 juncto ayat 2. Di mana, dalam pasal tersebut menyatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, termasuk pemilihan DPRD.
"Keputusan MK ini tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara serta membingungkan publik dan masyarakat," jelas Nurdin.
Tonton juga "MK Putuskan Pemilu Dipisah, PKB Usul Kepala Daerah Dipilih DPRD" di sini:
(maa/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini